Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Sunyinya malam di Manor Kertakala hanya dipecah oleh kedipan obor yang menyala redup di sepanjang koridor. Langkah berat Lord Kertakala bergema saat ia menyusuri tangga batu yang menurun, menuju ke ruang bawah tanah yang pengap dan gelap.
Pintu besi berkarat mendesis seram ketika terdorong. Sebatang lilin di tangannya menerangi ruangan sempit nan suram itu. Di sana, di pojok tergelap, tampak wanita terduduk lemas—kulitnya sepucat rembulan purnama dan rambut kusut tidak terawat. Matanya kosong ke depan, seolah jiwanya sudah lama pergi meninggalkan raganya.
“Isabelle,” lirih Lord Kertakala.
Wanita itu—Isabelle—tak bergeming. Ia hanya duduk diam, seakan tak menyadari kehadiran Lord Kertakala.
Kyllian Kertakala, atau yang kini dikenal dengan Lord Kertakala, menghela napas panjang. Ia mendekat, berlutut di hadapan Isabelle yang terkurung dalam kurungan besi yang dingin.
“Hampir tiga dekade,” gumamnya, “tetapi kau masih terlihat sama. Secantik dulu.”
Jemarinya menyentuh lembut bekas luka pada wajah Isabelle, tetapi wanita itu masih tidak bereaksi. Matanya yang nanar tetap memandang ke depan, menerawang ke masa lalu yang tak akan pernah bisa diubah.
Kyllian terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan, “Kau tahu, aku hampir lupa bagaimana rasanya menatap wajahmu yang tersenyum.” Dia tertawa getir. “Hampir lupa bagaimana hangatnya pelukanmu.”
Perlahan, setitik air mata mengalir di wajah Kyllian. Ia menunduk, menyembunyikan wajah.
“Maafkan aku, Isabelle. Maafkan aku.”
Di luar, angin malam meraung dingin, seolah turut menangisi tragedi yang terkubur selama puluhan tahun.
30 tahun yang lalu, Kota Sembilan Tiga Perempat, 1526
Senja membakar langit dengan palet warna memukau—merah menyala berpadu ungu keemasan, seolah seseorang baru saja menumpahkan cat ke kanvas raksasa. Di tengah hiruk-pikuk kota yang mulai meredup, pemuda jangkung berdiri tegap di puncak menara tertinggi. Rambutnya yang sekelam malam berkibar liar dimainkan angin, sementara mata hijaunya yang setajam elang memindai kerumunan di bawah.
Kyllian Kertakala—24 tahun—putra bangsawan yang ambisius dan rupawan. Bibirnya tersenyum tipis ketika menyaksikan orang-orang bergegas pulang, menghindari bayangan malam yang mulai merayap. Dia tahu, di balik topeng kesopanan dan tata krama, kota ini punya rahasia gelap yang hanya bisa dibisikkan di balik pintu tertutup.
“Kau tahu,” suara lembut akrab memecah lamunannya, “jika terus berdiri di sini, burung-burung bisa mengiramu patung.”
Kyllian menoleh. Sorot mata hijaunya berubah lembut saat melihat wanita berambut kemerahan tersenyum jahil. Isabelle Rosewood—22 tahun, putri tabib terbaik, dengan kecantikan dan kecerdasannya.
“Dan kau, Nona Cantik,” balas Kyllian dengan seringai menggoda, “bisa dikira peri hutan yang tersesat di kota.”
Isabelle tertawa renyah, suara yang bagaikan denting lonceng merdu di telinga Kyllian. “Peri hutan? Kau terlalu banyak membaca dongeng, Tuan Muda Kertakala.”
“Ah, tapi bukankah hidup ini memanglah dongeng?” Kyllian mengulurkan tangan dengan elegan, mengajak Isabelle mendekat. “Hanya saja, kita yang menulis cerita kita sendiri.”
Isabelle menyambut uluran tangan itu, jemari mereka bertaut erat. “Dan bagaimana kau mau menulis cerita kita, Kyllian?”
Mata Kyllian berkilat penuh ambisi. “Dengan tinta emas dan darah, tentu saja. Aku akan buat Kota Sembilan Tiga Perempat berlutut di kakiku.”
“Kekuasaan lagi,” Isabelle mendesah, ada kekecewaan samar dalam suara itu. “Bukankah ada hal lain yang lebih berharga dari itu?”
“Seperti apa?” tantang Kyllian.
Isabelle tidak menjawab, hanya menatap Kyllian lekat-lekat, seolah berusaha menembus topeng arogansi yang selalu dipakainya. Kemudian, tanpa peringatan, wanita itu berjinjit dan mengecup lembut bibir Kyllian.
Dunia seakan menolak berputar.
Kyllian terpaku—benar-benar seperti patung. Otaknya yang biasanya dipenuhi rencana dan strategi mendadak kosong. Yang ada hanyalah sensasi lembut bibir Isabelle dan aroma mawar yang menguar dari tubuhnya.
Isabelle mundur, pipinya merona merah. “Seperti itu,” bisiknya malu-malu.
Kyllian menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang lebih kuat dari ambisinya—cinta.
Namun, takdir tidak selalu lembut.
Hutan Terlarang, dua bulan kemudian.
Tawa Isabelle membelah keheningan malam, mengusik kawanan kunang-kunang yang beterbangan di sekeliling mereka. Kyllian mengejarnya, berlari di antara pepohonan rimbun dengan senyum lebar.
“Kau tidak akan bisa menangkapku, Kyllian!” teriak Isabelle, berputar anggun di antara batang-batang pohon.
“Oh, ya?” Kyllian mempercepat larinya. “Kita lihat saja nanti, Peri Kecil!”
Mereka terus berlarian, membiarkan sensasi adrenalin dan kegembiraan memacu setiap detak jantung. Hingga akhirnya, di padang rumput yang tersembunyi, Kyllian berhasil menangkap pinggang Isabelle dengan cekatan.
“Kena kau!” seru Kyllian penuh kemenangan.
Isabelle tertawa lepas, membiarkan dirinya jatuh ke pelukan Kyllian. Mereka berguling di atas rumput lembut, napas mereka terengah-engah dan wajah memerah karena kegembiraan yang tak terkendali.
“Lihat!” Isabelle menunjuk ke atas. “Bukankah mereka sangat indah?”
Kyllian mengikuti telunjuk Isabelle. Matanya melebar takjub pada ribuan kupu-kupu merah muda dengan sayap berkilauan yang beterbangan di atas. Pemandangan ajaib yang seolah keluar dari halaman buku dongeng.
“Bagaimana bisa ada kupu-kupu ajaib sebanyak ini di malam hari?” gumam Kyllian heran.
Isabelle tersenyum misterius. “Ada banyak keajaiban di dunia ini, Kyllian. Kau hanya perlu buka mata untuk melihatnya.”
Kyllian menatap Isabelle lekat-lekat. Di bawah cahaya rembulan dan kilauan sayap kupu-kupu, wanita itu terlihat begitu memesona. Tanpa sadar, ia mendekatkan wajah.
“Kau benar,” bisiknya. “Dan kaulah keajaiban terindah yang pernah kulihat.”