Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #49

Mawar Busuk

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Angin dingin berembus, membawa aroma manis es krim yang kini pahit dengan ketegangan dan ketakutan. Seekor kupu-kupu merah muda mengudara. Sayapnya berkilau keemasan tertimpa cahaya senja. Kupu-kupu itu terbang melewati jendela ruang kerja Lord Kertakala, di mana Morgana baru saja masuk dengan anggun, tetapi disertai kewaspadaan.

“Ayah,” ucapnya penuh antisipasi, melirik Blackwood yang membungkuk sebelum meninggalkan mereka. “Apa langkah kita selanjutnya?”

Lord Kertakala menghela napas cukup berat, memijat pelipisnya yang berdenyut. “Kita harus tenang, Morgana. Jangan biarkan kepanikan mengambil alih.”

“Tenang? Seorang gadis kecil sedang sekarat karena racun dalam es krim. Dan Ayah tahu siapa yang membawa ide es krim itu, kan?”

“Angie,” sahut Lord Kertakala saat mengangkat wajah. “Wanita misterius dari negeri antah berantah.”

“Tepat sekali.” Morgana menyeringai. “Bukankah ini saat yang tepat untuk mempertanyakan keberadaannya di sini? Untuk mengusirnya dari kota kita sebelum bencana lebih lanjut terjadi?”

Lord Kertakala menggeleng tegas. “Tidak, Morgana. Kita tidak boleh gegabah. Angie sudah berada di bawah perlindungan keluarga kita sekarang.”

“Tapi, Ayah—”

“Cukup!” potong Lord Kertakala tajam. “Kita akan menyelidiki ini dengan hati-hati. Tanpa spekulasi yang tak berdasar.”

Morgana menggigit bibir, menahan kekesalan yang mendidih di dadanya. Setiap detik keberadaan Angie di sini adalah potongan waktu yang menjauhkan William darinya. Kalau ada yang bilang cinta itu buta, mungkin mereka belum merasakan kecemburuan—sebuah monster dengan ribuan mata yang selalu terjaga, haus perhatian dan cinta yang tak terbalas.

Morgana tahu persis bagaimana rasanya dicengkeram monster itu. Setiap kali dia melihat William memandang Angie dengan pandangan memuja, seolah wanita asing itu ialah matahari dan William hanyalah bunga matahari yang setia mengikuti ke mana pun sang surya beranjak. Dia bisa merasakan taring-taring tajam monster menancap makin dalam ke ulu hatinya.

❾¾

Di taman manor—pria yang sudah ratusan tahun mengabdi pada kegelapan—menyaksikan kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan tatapan geli. Tangannya yang penuh kutukan menggenggam tongkat kayu dengan ujungnya berpendar keunguan setiap kali ia mengetuk-ngetukkannya ke tanah.

“Manusia-manusia bodoh!” Senyum licik diukir bibir tipisnya. “Begitu mudahnya dibutakan ketakutan.”

Sang Kegelapan itu menikmati kekacauan. Pengawal-pengawal berseragam hitam-merah menggeledah setiap sudut, menginterogasi para pelayan dengan kasar, serta merazia segala barang bawaan para tamu pesta. Semua itu hanya karena seorang gadis kecil yang keracunan es krim.

“Sungguh menggelikan.” Ia terkekeh. “Ratusan tahun berlalu, dan mereka masih saja sama seperti dulu. Begitu mudah dihasut, begitu mudah dikendalikan.”

Tiba-tiba, matanya menangkap sosok jangkung yang berjalan terburu-buru melewati taman. Rambut hitamnya yang jatuh indah berkibar tertiup angin, rahang tegasnya mengeras menahan amarah. Seringai Prumarion semakin lebar hingga dia terlihat persis serigala yang lapar.

Well, well, well,” bisiknya. “Jika ini bukan pangeran kecil kita yang tampan.”

Dengan satu jentikan jari, dia lenyap dalam kepulan asap ungu, hanya untuk muncul kembali tepat di hadapan pemuda itu.

“Selamat malam, Tuan Muda,” sapanya dengan nada manis yang dibuat-buat. “Bagaimana kabar ayahmu yang tercinta?”

Kieran tersentak, matanya melebar melihat Prumarion yang mendadak muncul. Namun, keterkejutannya hanya berlangsung sebentar saja. Wajahnya kembali mengeras, sorot matanya penuh kebencian.

“Apa maumu, Penyihir Hina?” desisnya tajam.

Prumarion pura-pura terkejut. “Oh, begitukah caramu menyapa tamu kehormatan ayahmu? Sangat tidak sopan.”

“Kau bukan tamu kehormatan,” jawab Kieran dingin. “Kau hanyalah parasit yang menempel pada kekuasaan ayahku.”

Tawa Prumarion meledak dan mengerikan. “Ah, mulut kecilmu begitu berani, Tuan Muda. Persis seperti ayahmu dulu.”

Kieran hendak membalas, tetapi mendadak tubuhnya kaku. Matanya yang tadinya berkilat marah kini kosong, seolah jiwanya tersedot. Prumarion menyeringai puas, tongkatnya berpendar semakin terang.

“Nah, begini lebih baik,” ucapnya puas. “Sekarang, mari kita bicara baik-baik.”

Prumarion mendekat. Matanya yang kelabu menjajaki Kieran lekat-lekat. “Kau benar-benar cerminan ayahmu di masa muda. Tampan, ambisius, dan ... oh, sungguh mudah dimanipulasi.”

Lihat selengkapnya