Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #50

Informan Misterius

Cambridge, 2025

Tidak pernah terbayangkan olehnya kalau hidupnya akan berakhir seperti ini. Digantung terbalik di atap gedung tua di pinggiran Cambridge. Pergelangan kakinya terikat dengan tali, yang membuatnya berayun pelan seiring angin pagi yang dingin. Di bawahnya, lautan beton dan aspal kota tampak siap menelan semua jejaknya dalam sekejap.

“Jadi,” ucapnya santai pada sosok berjubah hitam yang berdiri misterius di pinggir atap, “kau bilang kau punya informasi tentang Angie?”

Sosok itu terkekeh. “Tentu saja, aku punya. Tapi apa kau benar-benar ingin mendengarnya? Kurasa kau lebih senang menikmati pemandangan kota dari sudut pandang yang … unik ini?”

Aiden memutar mata. “Lucu sekali. Sekarang, bisa tolong tarik aku naik? Darahku mulai mengumpul di kepala, dan aku yakin wajahku sudah semerah tomat.”

Tsk, tsk,” sang jubah hitam menggeleng. “Kau tahu aturannya, Gryphon. Informasi tidak gratis. Apa yang kau tawarkan sebagai gantinya?”

Aiden menghela napas panjang. Sejak awal, dia tahu ini ide buruk. Namun ketika seorang informan misterius menghubungi dirinya tengah malam, mengklaim punya petunjuk akan keberadaan Angie, instingnya mengambil alih logikanya. Dan di sinilah Aiden berakhir—digantung terbalik di atap gedung kosong di pinggiran Cambridge pada pukul 5 pagi.

“Baiklah, baiklah.” Aiden menarik napas. “Bagaimana dengan voucher makan gratis seumur hidup di kafetaria Harvard?”

Ada jeda sejenak.

“Kau menawarkan makanan kafetaria kampus,” sosok jubah hitam itu berkata, “sebagai imbalan atas informasi tentang wanita yang hilang di dimensi lain?”

“Hei, jangan remehkan mac and cheese mereka. Itu senjata biologis yang cukup ampuh.”

Sosok jubah hitam terdiam sejenak, sebelum akhirnya terhuyung-huyung dalam tawa yang memecah kesunyian pagi.

“Kau benar-benar sesuatu, Gryphon. Baiklah, kurasa aku bisa memberimu satu petunjuk gratis.”

Dengan satu gerakan cepat, sosok itu menarik tali yang mengikat Aiden. Dalam sesaat, Aiden sudah berdiri tegak di atap, sedikit pusing karena perubahan posisi yang tiba-tiba.

“Jadi?” Aiden bertanya tak sabar. “Apa petunjuknya?”

Si jubah hitam mendekat, suaranya kini hanya bisikan. “Dengar baik-baik, Gryphon. Kunci untuk menemukan Angie ada pada—”

Kring!’—Aiden mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang masih mengawang-awang saat alarm ponsel berbunyi.

“Sial!” gerutunya sembari mengusap wajah ketika jam dinding menunjukkan pukul 06.00 pagi. “Mimpi lagi!”

Ini bukan pertama kali Aiden bermimpi aneh tentang pencarian Angie. Namun kali ini—terasa sungguh nyata. Dia bisa merasakan angin dingin Cambridge di kulitnya, bisa mencium aroma aspal dan polusi kota.

Menggeleng untuk mengusir sisa-sisa mimpi itu, Aiden bangkit dari sofa tempatnya ketiduran semalam. Jurnal Angie terbuka di atas meja, halaman-halamannya sedikit kusut karena sempat dijadikan bantal dadakan.

“Maaf, Angie,” bisiknya sembari merapikan jurnal itu. “Aku janji akan lebih hati-hati lain kali.”

Dengan enggan, dia beranjak, merasakan lantai dingin di telapak kakinya. Anile mengikuti di belakang, ekornya terangkat angkuh saat mengikuti Aiden ke dapur.

“Iya, iya. Sarapanmu datang, Yang Mulia,” kata Aiden sambil menuangkan makanan kucing ke mangkuk Anile.

Sementara Anile menyantap sarapan dengan nikmat, Aiden membuka kulkas dan mengeluarkan sekotak susu. Namun, saat membuka tutup kotak susunya, aroma busuk menyerang hidungnya.

“Astaga!” Aiden nyaris muntah. “Ini bau seperti kaus kaki basah yang direndam dalam sup jamur?”

Anile mendongak dari mangkuknya, menatap Aiden dengan mata hijau cemerlang, seperti berkata, “Kau baru saja mengutip Dr. Quantum, dasar bodoh!”

Aiden menggeleng, berusaha mengusir bayangan Dr. Quantum yang entah bagaimana kini terasa menghantui. Bahkan susu basi pun mengingatkannya kepada pria tua eksentrik itu.

Dengan helaan napas panjang, dia memutuskan untuk membuat kopi saja. Sembari menunggu air mendidih, dia mengambil jurnal usang Angie dari meja.

Hari ke-88 di Kota Sembilan Tiga Perempat.” Aiden membaca tulisan Angie yang rapi. “William mengajakku ke pasar hari ini. Kau tahu betapa sulitnya berjalan dengan gaun abad ke-16 ini, Aiden? Rasanya seperti menyeret karung beras sambil main lompat tali. Namun William ... dia selalu sabar walaupun kakinya panjang. Matanya, senyumnya ... Ya Tuhan, mengapa dia harus begitu mirip denganmu?”

Rasa rindu yang akrab mencubit dadanya, bercampur dengan setitik—cemburu?

Meow,” Anile menyadarkannya dari lamunan.

“Kau benar, Anile.” Aiden mengangguk. “Waktunya berangkat.”

Dengan secangkir kopi di satu tangan dan jurnal Angie di tangan lainnya, Aiden melangkah keluar apartemen.

❾¾

Aiden berdiri di pinggir area konstruksi. Fondasi raksasa berbentuk oktagonal terbentang sejauh mata memandang, terbuat dari beton khusus yang dicampur serat karbon dan diperkuat dengan batang baja titanium. Formula mujarab ini—kolaborasi brilian antara Evelyn dan Dr. Quantum—konon bisa menahan gempa berkekuatan 9 skala Richter.

“Pagi, Bos!” sapa Theo ceria, tangannya penuh dengan gulungan kertas biru—cetak biru terbaru untuk menara. “Kau tampak ... eh, lebih kusut? Malam yang berat?”

Aiden menguap. “Ya, begitulah. Mimpi aneh lagi.”

Lihat selengkapnya