Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Ada kalanya, ketika dunia terasa begitu sunyi, kita dapat mendengarkan bisikan-bisikan takdir yang tersembunyi di balik hiruk-pikuk kehidupan. Di ruangan remang-remang, ruangan yang lebih mirip ruang operasi darurat, di mana berbagai botol ramuan berjejer di meja samping ranjang dan sinar lilin yang bergoyang lembut memberi bayangan yang seakan hidup, sementara aroma tajam dedaunan obat mengambang di udara—bercampur bau antiseptik yang menusuk hidung, Angie merasakan bisikan-bisikan itu menggelitik telinga.
Dia duduk di tepi ranjang. Jemarinya membelai lembut rambut pirang Layla yang lelap. Bintik-bintik merah yang tadinya mencemari kulit pucat Layla perlahan memudar, berkat ramuan Elina. Namun, meski racun meninggalkan tubuh mungil itu, Angie merasa ada racun lain yang masih mengendap di sudut-sudut pikiran.
“Kau mengingatkanku pada seseorang.”
Kata-kata Prumarion terus bergaung di benak Angie. Seperti radio rusak yang terus mengulang potongan lagu yang itu-itu saja. Kata-kata itu menari-nari di perbatasan kesadarannya, menggoda untuk diurai maknanya.
William, yang berdiri di ambang jendela dan menatap langit malam yang bertaburan bintang, seolah merasakan kegundahan Angie. Dia berbalik. Senyumannya setenang rembulan yang malu-malu mengintip dari balik awan.
“Hei,” bisik William sembari mendekat. “Kau masih memikirkan perkataan si tua bangka itu?”
Angie tertawa kecil, meski kekhawatiran masih tersirat di mata. “Bagaimana kau bisa tahu?”
William berlutut di hadapan Angie. Tangannya yang hangat menggenggam jemari Angie yang dingin. “Karena aku sangat mengenalmu, Nona Angie Serenity. Setiap kerutan di keningmu, setiap helaan napasmu yang berat, semuanya bercerita padaku.”
“Oh, ya?” Angie mengangkat alis ketika senyum jahil mengembang di bibir. “Lalu apa yang diceritakan oleh kerutan-kerutan ini, Tuan Constantine?”
William pura-pura berpikir keras, keningnya berkerut dalam isyarat yang begitu berlebihan sehingga membuat Angie tertawa geli. “Hm, mereka bilang ... kau sedang memikirkan betapa tampannya diriku di naungan cahaya rembulan.”
Angie memukul lembut pundak William. Hidungnya berkerut saat tersenyum. “William! Itu jelas adanya!”
Tawa mereka memenuhi ruangan, melompat-lompat di antara dinding batu yang dingin, memberi melodi indah yang menghangatkan hati. Sesaat, Angie lupa cara untuk khawatir. Di sini, dengan William di sisinya, dunia seolah-olah menyusut menjadi hanya mereka berdua.
Namun, tawa itu memudar seiring pintu kamar terbuka perlahan. Dara masuk dengan wajah lelah tetapi lega.
“Oh, maaf,” ucapnya pelan ketika melihat William dan Angie. “Aku tak bermaksud mengganggu.”
“Tidak apa-apa, Bu Dara.” Angie tersenyum hangat dan segera berdiri. “Bagaimana keadaan Anda? Sudah makan?”
Dara menggeleng lemah. “Belum sempat, Nona.”
William berdehem, melirik Angie penuh arti. “Kalau begitu, biar saya ambilkan makanan untuk Anda, Bu Dara. Anda harus menjaga stamina untuk merawat Layla.”
Sebelum Dara menolak, William sudah melenggang keluar, meninggalkan jejak aroma kayu manis yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi.