Cambridge, 2025
Langit malam Cambridge menggeram bagai singa lapar. Awan-awan hitam bergulung-gulung, seolah-olah hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Di tengah lapangan terbuka yang biasanya jadi tempat piknik, berdiri sebuah alat—perpaduan penangkal petir, Tesla coil, dan antena parabola yang bak hasil perkawinan liar antara penemuan Nikola Tesla dan properti film sci-fi tahun 80-an.
“Zeus Trap siap diuji!” teriak Theo dengan antusiasme bocah yang baru saja menemukan permen di saku celana lama.
Elias, yang berdiri di sampingnya dengan rambut acak-acakan seolah baru saja disambar petir mini, mengangguk mantap. “Sistem online. Kamera pengintai siap merekam Zeus menari!”
Si kembar Spark, dengan antena kecil di helm mereka yang berkedip-kedip seperti lampu pohon Natal kehabisan baterai, mendesis penuh semangat. “Bzzt! Bzzt!”
Sementara itu, di apartemen remang-remang, Aiden tenggelam dalam samudra kata-kata. Jurnal Angie terbuka di pangkuannya, setiap halaman serasa potongan puzzle yang hilang dari hidupnya.
“Hari ke-98 di Kota Sembilan Tiga Perempat,” Aiden membaca dengan suara lirih, “William mengajakku ke puncak menara jam hari ini. Dari atas, kota ini tampak begitu hidup. Tapi entah mengapa, Aiden, setiap kali aku melihat langit, aku merasa kau juga sedang memandang langit yang sama. Apa kau juga merindukanku seperti aku merindukanmu?”
Aiden menghela napas panjang. Jari-jarinya menyusuri tulisan Angie, seolah dengan begitu dia bisa merasakan sentuhan kehadiran gadis itu.
Tiba-tiba, ponselnya berdering nyaring, membuyarkan angan-angannya.
“Aiden! Cepat lihat streaming kami!” Theo terdengar panik di seberang telepon.
Buru-buru Aiden mengaktifkan laptop dan mengakses kamera live dari lapangan. Matanya membelalak melihat pemandangan yang terpampang di layar.
Zeus Trap berdiri tegak, menantang langit. Tahu-tahu, sebuah kilatan cahaya membelah angkasa, melesat turun dengan kecepatan yang membutakan mata. Untuk sesaat, dunia seolah terdiam.
“Berhasil!” teriak Elias girang.
Namun kegembiraan itu hanya bertahan sedetik. Zeus Trap mulai bergetar dahsyat, cahaya biru elektrik menari-nari di sekelilingnya bagaikan ular yang mengamuk. Dan kemudian—’boom!’
Layar laptop Aiden berubah putih, lalu hitam total.
“Astaga! Apa yang terjadi?” Aiden berteriak panik ke telepon.
“Zeus Trap ...,” Theo terdengar lemas, “sepertinya alatnya terlalu lemah untuk menangkap kilat petir yang sangat dahsyat. Zeus-1, tim-0.”
Aiden menghela napas, antara ingin lega—setidaknya timnya selamat—dan frustrasi. “Baiklah, kita bicarakan ini besok pagi. Sekarang, pastikan kalian semua aman.”