Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #53

Sketsa Tinta Luntur

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Andaikan kenangan adalah lukisan, maka ingatan Angie tentang dua bulan lalu adalah sketsa tinta luntur—hitam-putih, buram di pinggir, tetapi begitu hidup di tengahnya. Seolah-olah ada tangan jahil yang mencelupkan kuas ke dalam air dan menyapukan warna ke pojok-pojok kanvas, membuat garis-garis tegas melebur jadi sapuan lembut yang mengabur.

Di tengah lukisan itu, berlarian dua sosok di koridor megah Manor Kertakala, bagai dua anak kecil yang kabur setelah mencuri kue dari dapur. Tawa mereka menggema, memantul di dinding-dinding batu tua yang biasa hanya meresap bisik-bisik konspirasi dan desah tersengal para pelayan yang berlalu lalang.

“Buruan, Angie!” Suara gagah Kieran menggema di lorong. “Atau kau takut kalah dariku?”

Angie memutar mata, mempercepat larinya. Rambut cokelat susu yang biasa tertata rapi kini berkibar liar, seolah hendak melepaskan diri dari jepit-jepit yang mengurungnya.

“Dalam mimpimu, Tuan Muda Kertakala!”

Mereka berbelok tajam di tikungan, kaki-kaki mereka berderap di atas karpet merah yang meredam suara kaki mereka. Lukisan-lukisan para leluhur Kertakala tampak mengawasi dengan tatapan mencela—tidak menyetujui tingkah kekanakan sang pewaris dan gadis asing antah-berantah, dan hampir menabrak pelayan yang membawa setumpuk handuk bersih. Kieran berteriak maaf tanpa menoleh, sementara Angie hanya bisa tertawa akan wajah shock si pelayan yang handuk-handuk itu kini berserakan di lantai.

“Siapa duluan sampai perpustakaan,” teriak Kieran di sela napasnya yang terengah-engah, “dia pemenangnya!”

“Dan yang kalah?”

“Terserah si pemenang!”

Seringai Angie lebar. Oh, betapa dia akan menikmati momen membuat pewaris kekuasaan Kertakala ini menari hula dengan rok jerami.

Namun, impian indah itu pupus saat kaki-kaki panjang Kieran membawanya mencapai pintu perpustakaan dua detik lebih cepat. Angie tiba dengan napas terengah saat tangannya bertumpu pada lutut, dan Kieran bersandar di kusen pintu dengan melipat tangan di dada dan senyum kemenangan yang menyebalkan di bibir.

“Jadi,” mata Kieran berkilat jahil, “apa hukuman untuk si kalah, ya?”

Angie menegakkan tubuh, bersiap menerima nasibnya. Mungkin saja menari hula, atau bernyanyi dengan suara sumbang di atas satu kaki. Atau—

Namun, alih-alih menyuruh Angie melakukan hal-hal konyol, Kieran justru melangkah maju. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Hingga jarak mereka hanya tersisa seujung jari.

Angie bisa merasakan kehangatan yang menguar dari tubuh Kieran—mint bercampur musk yang memabukkan. Angie mundur selangkah. Punggungnya membentur rak buku.

“Kieran?” Suaranya bergetar tanpa dia inginkan.

Kieran tidak menjawab. Matanya yang sewarna kolam biru di musim panas menatap Angie lekat-lekat, seolah ingin menenggelamkan gadis itu ke dalamnya. Perlahan, sangat perlahan, dia mendekatkan wajah, hingga jarak mereka hanya sejengkal.

Jantung Angie berdetak kencang sekali, seakan ingin melompat keluar dari rongganya. Akal sehatnya berteriak untuk mendorong Kieran menjauh, tetapi tubuhnya seolah membeku.

Semakin dekat. Semakin dekat. Hingga Angie mampu melihat dengan jelas bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang ... oh.

Hingga akhirnya, saat bibir mereka nyaris bersentuhan, bayangan menyelinap di benak Angie. Dua wajah yang tumpang tindih—William dengan senyum hangat, dan Aiden dengan tatapan yang penuh cinta.

“Tidak!” pekik Angie refleks, tangannya mendorong dada Kieran, sementara kakinya tersandung ujung karpet. Tubuh Angie oleng ke belakang. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan dan tanpa sengaja menarik rak buku di belakangnya.

“Angie!” Kieran berteriak panik.

Dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian, Kieran melesat maju. Tangannya meraih pinggang Angie, menariknya ke dalam pelukannya sembari memutar tubuh mereka berdua. Punggung Angie membentur lantai keras bersamaan dengan suara berdebum keras rak buku yang ambruk—menimpa tubuh Kieran yang melindungi Angie di bawahnya.

Brak! Bruk! Gedebuk!” Buku-buku berjatuhan memenuhi perpustakaan, disusul suara rak-rak lain yang ikut roboh seperti efek domino. Debu-debu beterbangan, membuat udara terasa pengap dan sesak.

Lalu hening. Yang ada hanyalah deru napas Kieran dan Angie yang masih berpelukan erat.

Perlahan-lahan, kepala Angie menyembul dari balik tumpukan buku. Rambut indahnya yang tadinya rapi kini berantakan, penuh helai-helai daun kering—entah dari mana—tersangkut di sana-sini. Wajahnya dilumuri debu, kecuali dua jalur bersih di pipinya—bekas air mata karena terlalu banyak tertawa.

Kieran muncul tidak lama kemudian. Kondisinya tak jauh berbeda, hanya saja di kepalanya ada buku terbuka yang tersangkut bagai topi yang sangat tidak bergaya.

“Kau tak apa-apa?” Tangan Angie gemetar menyentuh pipi pemuda itu.

Iris birunya yang secerah langit musim panas bertemu dengan iris cokelat madu Angie. Sejenak mereka hanya saling tatap, sebelum tawa kecil lolos dari bibir Kieran.

Well,” ujarnya sambil tersenyum, “kurasa ini bukan hukuman yang kurencanakan.”

Tawa Angie pecah, entah karena lega atau absurdnya situasi ini. Mereka terbahak-bahak, masih terbaring di antara reruntuhan rak dan tumpukan buku, seolah dunia di luar tidak ada artinya.

“Ya, Tuhan!” Angie tersengal-sengal di sela-sela tawa. “Kau—kau terlihat seperti—”

Lihat selengkapnya