Bayangan panjang menari-nari di dinding batu sanctum Constantine, meliuk-liuk bagai ular yang siap membelit mangsanya. William menatap pantulan dirinya di cermin, jemarinya cekatan merapikan dasi sutra yang melingkari lehernya. Mata sewarna lautan itu menatap bayangannya sendiri, sementara pikirannya terbang ke suatu tempat—tepatnya, ke seseorang.
Angie.
Nama itu mengitari kepalanya laksana melodi lembut yang tidak pernah bosan didengarnya. Sudah berapa lama sejak gadis itu jatuh ke dalam hidupnya? Berapa musim telah berlalu sejak senyum manis wanita itu pertama kali menerangi hari-hari kelabu William?
Senyuman tipis merekah di bibirnya begitu mengingat bagaimana Angie selalu mengomel tentang pakaian abad ke-16 yang dianggapnya terlalu ribet dan menyiksa. Ah, andai Angie tahu betapa William rela mengenakan gaun berenda sekalipun jika itu berarti dia bisa mendengar tawa renyah gadis itu.
“Aku sudah gila,” gumam William pada bayangannya sendiri. “Jatuh cinta pada gadis dari masa depan? Brilian sekali, Constantine. Brilian sekali.”
Namun hati sungguh tak bisa berbohong. Setiap detak jantungnya selalu bernyanyi, “Angie, Angie, Angie,”— seperti mantra yang tak terbantahkan.
William menghela napas panjang, kemudian berbalik menghadap ruangan. Matanya menyapu seisi kamarnya yang rapi—terlalu rapi malah, seolah-olah bukan kamar yang ditinggali manusia. Hanya satu benda yang sedikit berantakan—meja kerja di sudut ruangan, diisi tumpukan buku-buku tebal dan gulungan perkamen.
Dia mendekati meja itu. Tangannya meraih buku usang bersampul kulit dan membukanya hati-hati. Di dalamnya, terselip secarik kertas—bukan kertas biasa, tetapi sketsa wajah yang begitu hidup, seolah-olah bisa bernapas kapan saja—wajah Angie yang terukir dengan detail sempurna.
William membelai sketsa itu sungguh lembut, sangat takut merusaknya.
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku melepasmu kembali ke masa depan? Ataukah ... aku bisa egois sekali saja dan memintamu tinggal?”
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Sketsa itu hanya diam, memandang William dengan senyum abadi yang tergores di atas kertas.
William hendak berangkat, tetapi secarik kertas di atas meja ruang tengah membuatnya terhenti. Tulisan tangan yang rapi tetapi tergesa-gesa itu tak lain milik Elina.
“Will, aku sangat sibuk hari ini. Mungkin akan pulang sangat larut. Jangan tunggu aku untuk makan malam. Oh, dan tolong sampaikan maafku pada Layla karena tidak bisa hadir di pestanya. - Elina”
William geleng-geleng. Elina, yang kini menjadi tabib terbaik Kota Sembilan Tiga Perempat, mengingatkannya pada mendiang ibu mereka. Sudah pasti mendiang ibunya sangat bangga pada mereka sekarang.
Ketukan di pintu menarik William kembali ke realitas. Alisnya terangkat. Siapa gerangan yang bertamu di saat seperti ini?
“Sebentar!” serunya sambil berjalan menuju pintu.
Sosok tua berjenggot putih panjang dengan mata biru pucat yang berkilat-kilat penuh antusias di balik kacamata bulan separuh itu menyambutnya ketika pintu terbuka.
“Profesor Leopold?!” William cukup terkejut.
“Aku menemukannya, William. Cara untuk mengirim Nona Angie pulang.”
“Benarkah?” Mata William melebar, mempersilahkan Profesor Leopold masuk.
Profesor Leopold memasuki ruang tengah sanctum, “Ya, Anakku. Setelah berbulan-bulan mendalami arsip kuno serta melakukan eksperimen yang nyaris mustahil, akhirnya aku berhasil menemukan formulanya.”
William mengangkat wajah, bertemu dengan mata biru pucat sang profesor. “Bagaimana caranya, Profesor?”