Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #56

Badai Merah Muda

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Andaikan alat ukur kebosanan nyata adanya, pasti jarum indikatornya sudah melebihi batas maksimum sekarang. Angie mendesah panjang, memandang kosong halaman-halaman usang Nubuat Sang Penyelamat yang terbuka di pangkuannya. Sudah berapa kali dia membaca buku ini? Sepuluh? Dua puluh? Entahlah. Yang jelas, dia sudah hafal setiap kata, setiap kalimat, bahkan setiap noda tinta yang menghiasi lembaran-lembaran kuning itu.

“Membosankan!” gerutunya, melempar buku tebal itu ke sudut ranjang yang besar. “Kenapa akhir ceritanya harus dirobek?”

Ketika Angie hendak merebahkan diri dan menyerah pada kantuk, pintu kamarnya berderit. Masuklah seorang gadis kecil berambut pirang emas, mata hijaunya berkilat penuh semangat.

“Nona Angie! Nona Angie!” gadis kecil itu melompat-lompat  dengan suara melengking, “ada badai di luar!”

Angie mengerutkan dahi, “Badai? Tapi langitnya cerah tadi ...”

“Bukan badai hujan!” Layla menarik tangan Angie tak sabar. “Badai kupu-kupu merah muda! Banyak sekali!”

Alis Angie menanjak. Badai kupu-kupu? Oke, ini pasti lelucon konyol ala abad ke-16. Namun, ketika Angie memastikan ke luar jendela, rahangnya spontan terjatuh.

Ribuan—tidak, mungkin jutaan—kupu-kupu merah muda beterbangan memenuhi langit Manor Kertakala. Sayap-sayap mereka berkilau keemasan—menciptakan pemandangan surreal, seolah-olah langit telah disihir jadi lautan kelopak sakura yang menari-nari.

“Ya Tuhan,” lirih Angie takjub. “Ini ... ini luar biasa!”

Tanpa perlu pikir panjang, Angie menyambar mantel sutra dan berlari keluar, diikuti Layla yang cekikikan.

Begitu kaki mereka menyentuh halaman manor, Angie merasa dia telah melangkah ke dalam dunia dongeng. Para pengawal Kertakala berlarian panik, berusaha menghalau kupu-kupu dengan sapu dan perisai—pemandangan yang malah terlihat konyol dan menggelikan. Beberapa pelayan wanita menjerit histeris, menutupi kepala mereka dengan nampan, sementara yang lainnya terpesona dan berusaha menangkap kupu-kupu dengan tangan kosong.

“Enyahlah, makhluk-makhluk sialan!” teriak frustrasi seorang pengawal, mengayunkan sapu ke udara.

“Lihat, Nona Angie!” Layla berputar-putar di tengah badai kupu-kupu dengan tawa riang. “Mereka seperti salju merah muda!”

Angie tersenyum lebar, turut berputar bersama Layla. Untuk sejenak, dia melupakan segala kekhawatiran dan kebingungannya selama ini. Yang ada hanyalah keajaiban di depan mata, sesuatu yang bahkan di masa depan pun terasa tak tergapai.

Namun, euforia itu seketika memudar begitu ia melihat rombongan yang tergesa-gesa ke arahnya.

Lord Kertakala memimpin di depan, wajahnya yang biasa tenang kini diliputi kekhawatiran. Di belakangnya, Lady Kertakala berjalan anggun meski kening berkerut. Kieran dan Morgana mengikuti dengan ekspresi tak kalah bingungnya.

“Nona Angie,” ucap Lord Kertakala begitu berdiri di hadapannya. “Apakah kau tahu sesuatu tentang fenomena ini?”

Angie menggeleng pelan. “Maaf, My Lord. Saya sama bingungnya dengan Anda.”

“Ini pastilah ulah penyihir!” desis Morgana, matanya memicing pada Angie. “Tidak ada penjelasan lain untuk keajaiban ini selain sihir hitam!”

“Jaga bicaramu, Morgana!” tegur Kieran, lalu menatap lembut pada Angie. “Kau baik-baik saja? Kupu-kupu ini tidak melukaimu, kan?”

Lihat selengkapnya