Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Bila ada yang bilang kupu-kupu bisa berbisik, pasti orang-orang akan terbahak-bahak. Namun tidak dengan Layla Firebloom. Gadis kecil berambut pirang emas itu sedang terpaku, matanya membulat tak percaya saat seekor kupu-kupu merah muda—yang entah bagaimana terasa berbeda dari ribuan lainnya—hinggap di ujung hidung mungilnya.
“Psst!” Suaranya lembut bagaikan gemerisik dedaunan terdengar. “Ikutlah denganku, Layla. Ada yang harus kau temukan.”
Layla mengerjap. Apakah dia baru saja berhalusinasi mendengarkan kupu-kupu berbicara? Mungkin dia terlalu banyak makan kue jahe tadi pagi? Atau mungkin ini efek samping dari ramuan penyembuh Elina yang diminumnya kemarin? Namun, rasa penasaran selalu bisa mengalahkan logika. Dengan hati berdebar, Layla mengikuti si kupu-kupu ajaib yang terbang rendah, menuntunnya melewati gerbang Manor Kertakala yang masih kacau invasi kupu-kupu.
“Hei, Nona Kecil! Mau ke mana kau?” teriak salah satu pengawal, tetapi suaranya tenggelam oleh kepakan ribuan sayap merah muda.
Layla terus berlari, mengikuti si kupu-kupu pembisik yang membawanya semakin jauh dari keramaian kota. Mereka memasuki jalan setapak yang diapit hutan lebat, di mana sinar matahari hanya mampu menyelinap di sela-sela daun.
“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku, Tuan Kupu-Kupu?” tanya Layla dengan terengah-engah.
Kupu-kupu itu tidak menjawab. Ia hanya terus terbang, membawa Layla semakin dalam ke jantung hutan. Hingga akhirnya, mereka sampai di pohon ek raksasa. Batangnya begitu besar, butuh setidaknya lima orang dewasa untuk memeluknya.
Si kupu-kupu menghinggapi tas ransel misterius yang tergeletak di sebelah pohon. Layla mengerutkan dahi. Tas itu jelas bukan berasal dari zamannya.
“Apa ini?” gumam Layla. Tangannya terulur hendak menyentuh tas misterius itu. Namun, sebelum jemarinya menyentuh permukaan tas, erangan kesakitan terdengar dari balik semak-semak. Layla tersentak. Apakah itu suara hantu hutan? Atau jangan-jangan beruang?
Layla mengumpulkan keberanian, mengintip ke balik semak-semak. Matanya melebar begitu melihat anak laki-laki—mungkin beberapa tahun lebih tua dari Layla—terduduk sambil memegangi lututnya yang berdarah.
“Ya ampun!” pekik Layla, refleks mendekat. “Kau tak apa-apa?”
Anak laki-laki itu mengangkat wajah. Layla spontan terpukau. Wajahnya begitu tampan dengan rambut cokelat gelap yang menawan dan mata sebiru lautan. Namun yang lebih membuatnya kaget, wajahnya begitu mirip dengan seseorang yang Layla kenal.
“A—aku tidak apa-apa,” jawab si anak laki-laki, meski jelas meringis menahan sakit. “Hanya terjatuh saat ... um, mendarat.”
Layla mengerutkan dahi. Mendarat? Apa maksudnya?
Tanpa banyak bicara, Layla merobek bagian bawah gaunnya, lalu membalut lutut si anak laki-laki cekatan.
“Wah, kau pintar sekali,” puji si anak laki-laki, takjub melihat keterampilan Layla. “Belajar dari mana?
Layla tersenyum malu-malu. “Aku sering mengamati Nona Elina mengobati orang-orang. Aku ingin jadi tabib hebat sepertinya suatu hari nanti!”
Si anak laki-laki tersenyum lebar. “Aku yakin kau akan jadi tabib yang luar biasa, Layla.”
Layla tersentak, “Eh? Bagaimana kau tahu namaku?”