Kota Sembilan Tiga Perempat, 1313
Bagi Helene—gadis tujuh tahun dengan rambut kusut dan gaun compang-camping—sebongkah roti curian bisa jadi tiket menuju perut kenyang atau mungkin penjara bawah tanah yang pengap.
Helene si Tikus Kecil. Setidaknya begitu julukan yang diberikan para pedagang pasar padanya. Bukan karena dia bau atau menjijikkan, tetapi karena kemampuannya yang jago menyelinap di antara celah-celah sempit pasar demi mencuri sepotong roti atau apel busuk yang tak lagi laku dijual.
Seperti biasa, pagi itu, Helene menyelinap di antara kaki-kaki pengunjung pasar yang sibuk. Mata tajamnya mengawasi setiap gerak-gerik penjual roti. Saat si penjual lengah karena sibuk melayani pelanggan gemuk yang cerewet, tangan kecil Helene menyambar sebongkah roti hangat yang baru keluar dari oven dengan secepat kilat.
“Pencuri! Tangkap dia!”
Teriakan si penjual roti mengguncang keramaian pasar. Helene tidak punya waktu untuk berpikir. Jantungnya berdebar liar, seolah sedang bermain drum dalam orkestra yang tidak pernah diminta. Roti hangat itu terpangku di dadanya, kontras tajam dengan dinginnya ketakutan yang merayap ke seluruh tubuhnya.
“Maaf, maaf!” teriak Helene, meluncur lincah di antara kaki-kaki orang dewasa. Beberapa mengumpat, beberapa tertawa, tetapi Helene acuh saja. Di benaknya hanya ada satu mantra: lari, lari, dan lari!
Namun, takdir tampaknya punya skenario lain. Dalam sekejap, “Oof!” Helene tidak sengaja menabrak sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang. Raga mungilnya terpental, waktu seolah melambat saat roti di pelukannya melayang. Dengan refleks mengagumkan, Helene menangkap roti itu kembali sebelum mencium tanah, tetapi, kelegaannya hanyalah sedetik.
“Nah, dapat kau, pencuri kecil!”
Helene mendongak, bersiap menemui wajah garang si penjual roti. Namun yang dilihatnya justru sepasang mata cokelat hangat yang menatapnya dengan geli.
“Sepertinya kau sedang dalam masalah, Nona Kecil?” Pria tampan yang menjulang di depannya tersenyum.
Helene menelan ludah, pasrah dan siap menyerahkan roti curiannya. Namun, pria itu justru menarik tangannya.
“Ayo, ikuti aku!”
Dan begitulah, Helene menemukan dirinya berlari lagi. Kali ini, bukan sendirian, tetapi bersama pria asing yang entah mengapa memilik membantunya. Mereka berbelok tajam, menyelip di antara gerobak-gerobak pedagang, hingga akhirnya bersembunyi di balik tumpukan peti kayu.
“Ssst!” Pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya yang tersenyum jahil.
Helene mengangguk, masih terengah-engah. Mereka menunggu dalam diam, hingga suara teriakan si penjual roti semakin menjauh dan akhirnya hilang sama sekali.
“Fiuh, hampir saja!” Pria itu menghela napas lega, lalu menoleh pada Helene. “Kau tidak apa-apa, Nona Kecil?”
Helene mengerjap bingung. “Kenapa Tuan berbaik hati pada pencuri sepertiku?”
Pria itu tertawa—tawa yang anehnya malah terdengar seperti alunan harpa di telinga Helene. “Anggap saja aku tahu bagaimana rasanya kelaparan. Dan percayalah, rasa lapar itu lebih mengerikan daripada seribu penjual roti yang marah-marah.”
Helene menatap pria itu lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Sesuatu yang membuat Helene merasa cukup aman, padahal mereka baru saja bertemu.
“Terima kasih, Tuan,” kata Helene tulus. Lalu, tanpa pikir panjang, dia membelah roti curiannya jadi dua dan menyodorkan separuh pada pria itu, “Ini, untuk Tuan.”
Pria itu tertegun sejenak, sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Kau yakin? Bukankah kau lebih butuh ini?”
Helene menggeleng keras. “Tuan sudah menolongku. Ini caraku membalas budi.”
Pria itu menimbang-nimbang sejenak, dan akhirnya, dia menerima roti pemberian Helene dan menggigitnya perlahan.
“Hm, lezat sekali. Terima kasih, Nona Kecil.”
Helene tersenyum lebar, merasa bangga dapat berbagi dengan penolongnya.
“Omong-omong,” pria itu menjentikkan jari, “karena kau sudah mau berbagi rotimu, bagaimana kalau kuberi sedikit hiburan?”
Pria itu mengayunkan tangannya lincah dan udara di sekitar mereka mendadak disemarakkan para kupu-kupu berkilauan—merah, biru, kuning, ungu, jingga—menari-nari mengitari mereka laksana pusaran warna-warni yang memukau.
“Woah!” Sepasang mata biru Helene berbinar-binar. “Bagaimana Tuan melakukannya?”