Kota Sembilan Tiga Perempat, 1313
Darah.
Merah pekat merembes keluar dari hidung Prumarion, menetes-netes di atas tanah yang retak. Tubuhnya bergetar hebat, seolah ada ribuan volt listrik menyengat setiap sel dalam raganya. Matanya terpejam kencang, menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
Jeritan Prumarion menyibakkan ketenteraman malam, menggetarkan kaca-kaca jendela rumah penduduk. Para pengawal yang semula hendak menangkapnya langsung pucat dan mundur perlahan, tidak menyangka dengan hal mengerikan di hadapan mereka.
Lord Prudence, yang tadi berapi-api, kini kaku dengan mata terbelalak, “A—apa yang terjadi?”
Tidak ada jawaban. Semua terpaku menatap Prumarion yang kini melawan gravitasi, melayang beberapa senti di atas tanah. Tubuhnya dikelilingi pusaran angin kencang yang menyapu dedaunan kering dan debu jalanan.
“Dia … penyihir!” seorang pengawal berteriak panik.
Kerumunan yang menonton jadi riuh. Beberapa warga berlarian ketakutan, sementara yang lain malah semakin mendekat, penasaran dengan tontonan langka ini.
“Bunuh dia! Bunuh penyihir itu!” teriak seseorang dari kerumunan.
Namun, sebelum siapa pun dapat bertindak, Prumarion membuka mata. Bukan lagi cokelat hangat di sana, tetapi sepasang mata yang sekelam malam tanpa kedalaman.
“Kalian ...” suaranya berat dan dalam, seolah bukan suaranya sendiri, “telah membunuh keluargaku.”
Dengan sekali lambaian tangan, gelombang energi tak kasat mata menyapu kerumunan. Para pengawal, Lord Prudence, bahkan warga yang menonton, terpental jauh ke belakang bagai tersapu angin tornado.
Prumarion menatap tubuh-tubuh yang bergelimpangan karena kekuatannya. Sebagian masih bisa bergerak-gerak kesakitan, sebagian lagi mengembuskan napas terakhir di tempat.
“Apa yang sudah kulakukan?” gumamnya, menatapi tangannya dengan ngeri.
Namun, penyesalan itu hanya sedetik. Bayangan jasad orang tuanya yang berlumuran darah kembali menghantui pikirannya. Amarah kembali menguasai, membuat energi gelap di sekelilingnya semakin tebal.
“Lari ...” lirih suara di kepalanya, “kau harus lari.”
Dengan sisa-sisa tenaganya, Prumarion berlari. Berlari sekencang mungkin, menembus kemalaman yang pekat. Kakinya melangkah tanpa arah, membawanya makin jauh dari kota yang kini porak-poranda.
Hutan Terlarang. Satu-satunya tempat yang dapat jadi tempat pelarian sekarang. Tempat di mana bahkan ksatria paling terbaik pun tidak akan berani menginjakkan kaki. Legenda kuno mengatakan bahwa Hutan Terlarang ialah sarangnya Penguasa Kegelapan—sosok misterius yang konon dapat melahap jiwa manusia dalam sekejap mata. Konon, siapa pun yang berani memasuki hutan ini tidak akan pernah kembali. Mereka akan menggaib selamanya, terjebak dalam labirin pohon-pohon raksasa yang hidup dan bernapas.
Prumarion tak mengindahkan. Yang ada di pikirannya hanya lari, lari, dan lari.
Ranting-ranting tajam mencabik wajah dan lengannya, akar-akar pohon-pohon yang mencuat seakan berusaha menjegalnya, tetapi dia terus berlari. Prumarion sudah kehabisan pilihan. Jiwanya dimakan Penguasa Kegelapan masih lebih baik daripada diadili di tiang gantungan.
Entah berapa lama ia berlari. Mungkin sejam, mungkin sehari, atau mungkin seabad. Waktu tak lagi bermakna di kedalaman Hutan Terlarang.
Hingga akhirnya, raganya tak sanggup lagi. Prumarion ambruk di tanah berlumut dengan tersengal-sengal hebat. Kegelapan mulai menyelimuti pandangannya.
“Ibu ... Ayah ...” bisiknya lirih, sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.
❾¾
Perlahan, kelopak mata Prumarion terbuka. Sekejap kabur sebelum dia menangkap langit-langit kayu berukiran aneh nan asing yang menyambutnya.
“Ah, akhirnya kau bangun juga, Anak Muda.”
Prumarion menoleh ke pemilik suara. Sosok wanita tua duduk di samping ranjang dirinya berbaring, tengah sibuk memintal benang dengan tangan keriput.
“Si—siapa?” Prumarion mau bangun, tetapi tubuhnya terasa diserang oleh ribuan panah.
“Jangan banyak bergerak dulu,” wanita tua itu segera menahan pundaknya dengan lembut. “Kau masih butuh istirahat.”
Prumarion menurut, kembali berbaring. Ia mengamati wanita tua itu lekat-lekat. Rambutnya putih keperakan dan wajah senjanya entah bagaimana sungguh memancarkan aura kebijaksanaan dalam. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah matanya.
“Matamu … apa yang terjadi dengan matamu?”
Wanita tua itu hanya tersenyum. Sudah pasti dia akan tertarik pada kain hitam yang menudungi kedua matanya. “Katakanlah aku tidak dianugerahi penglihatan seperti orang kebanyakan.”
“Maaf, aku tidak bermaksud—”
“Tak apa, Anak Muda. Aku sudah terbiasa,” Wanita tua itu mengangguk. “Lagi pula, ada banyak hal yang bisa ‘dilihat’ tanpa mata, bukan?”
Prumarion mengernyit, tetapi memutuskan untuk tak menyelidiki lebih jauh.
“Di mana aku?”
“Di gubukku, tentu saja. Di jantung Hutan Terlarang.”