Kota Sembilan Tiga Perempat, 1314
Setahun kemudian
Burung hantu berbulu keemasan terbang rendah di atas hutan purba yang diselimuti kabut malam. Matanya yang tajam menyala dalam kegelapan, menangkap kilatan sinar aneh dari gubuk terpencil. Dia hinggap di dahan terdekat, mengamati dengan penuh rasa ingin tahu.
Di halaman gubuk itu, pemuda tampan berambut hitam acak-acakan tengah berayun-ayun dengan tongkat sihir di tangannya. Sinar ungu kemerahan menyembur dari ujung tongkatnya, membentuk pola-pola rumit di udara. Tawa riang si pemuda mengusik kesenyapan malam.
“Lihat, Cassandra! Aku bisa membuat naga api!” seru Prumarion girang.
Dari ambang pintu, wanita tua dengan mata tertutup kain hitam tersenyum risau. “Bagus sekali, Nak. Namun ingat, sihir bukan mainan.”
Prumarion menurunkan tongkat, naga api menghilang dalam kepulan asap. “Ah, kau selalu khawatir, Cassandra. Lihat, kini aku dapat mengendalikan sihirku yang sudah selancar air mengalir!”
“Justru itu yang kukhawatirkan,” gumam Cassandra pelan.
“Apa katamu?” Prumarion menoleh.
“Tidak, tidak apa-apa.” Cassandra menggeleng. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?”
“Aku akan kembali ke Kota Sembilan Tiga Perempat, tentu saja!”
Cassandra tersentak. “Apa? Tapi—”
“Tenang saja,” Prumarion mengibaskan tangan santai. “Aku hanya akan menemui Poppy, menunjukkan sihirku yang baru. Kau tahu? Aku akan mengajaknya kabur dari kota itu. Akan kami bangun rumah di sini, hidup bahagia selamanya!”
Cassandra mengernyit. “Kau yakin? Bukankah Poppy sudah—”
“Sssh!” Prumarion memotong. “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi percayalah, Poppy pasti akan menerimaku kembali. Dengan sihirku, aku bisa memberikan apa pun yang Poppy inginkan. Kekayaan, kekuasaan, apa pun!”
Cassandra menghela napas panjang. “Baiklah jika itu maumu. Kapan kau akan berangkat?”
“Besok pagi!” jawab Prumarion antusias. “Ah, aku tak sabar melihat wajah terkejut Poppy saat melihatku lagi. Dia pasti akan jatuh cinta lagi padaku!”
Cassandra hanya tersenyum pasrah. Dalam hati, firasat buruk membayanginya.
❾¾
Matahari naik tiga perempat ke cakrawala, dan Prumarion sudah siap dengan jubah hitamnya yang dimainkan angin. Dia berpamitan pada Cassandra, juga Malakar yang baru saja tiba.
“Jagalah dirimu, Nak,” pesan Cassandra. “Dan jangan lupa, bijaklah menggunakan sihirmu.”
Prumarion mengangguk mantap sebelum melangkah pergi. Cassandra dan Malakar memandangi punggungnya yang semakin menjauh, seakan menyaksikan epilog dari prolog yang belum sepenuhnya terungkap.