Cambridge, 2025
Evelyn dan rombongannya keluar dari gedung kepolisian dengan perasaan sekencang roda hamster yang kehilangan kendali. Otak mereka berlarian, berusaha mencerna fakta bahwa Detektif Sullivan West—sosok yang selama ini mereka percayai—ternyata tidak pernah ada. Seolah-olah sosoknya hanya fatamorgana di padang pasir kenyataan yang gersang.
“Mungkin kita yang salah gedung?” Theo menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Atau jangan-jangan kita tanpa sadar memasuki dimensi paralel di mana Detektif West tidak pernah lahir!”
Dr. Quantum mengangguk, “Teori brilian, Anak Muda! Mungkin kita tidak sengaja melewati celah antar dimensi ketika melintasi zebra cross tadi. Aku selalu curiga pada garis-garis putih itu. Terlalu simetris untuk dunia yang chaotic ini!”
Evelyn menghela napas panjang. Normalnya, dia akan memutar bola mata mendengar teori-teori absurd mereka. Namun sekarang? Semuanya terasa mungkin. Bahkan ide bahwa mereka semua hanyalah karakter dalam novel fiksi yang ditulis penulis yang berobsesi plot twist kini terasa masuk akal.
“Guys,” Evelyn akhirnya bersuara, berusaha terdengar setenang mungkin walaupun detak jantungnya sudah bisa mengalahkan musik rock, “kurasa kita butuh istirahat dan menenangkan pikiran. Mari bicarakan ini lagi besok, ya?”
Dr. Timeless, yang sedari tadi sibuk mengendus-endus udara seperti anjing pelacak, mengangguk setuju. “Benar sekali, Nona Blakely. Aku mencium aroma masa lalu yang kuat di sekitar sini. Mungkin kita perlu mundur dulu dan mencari gambaran besarnya. Siapa tahu kita menemukan jejak dinosaurus juga nanti!”
Si kembar Spark juga berseru kompak, “Bzzt!”—yang jika diartikan: “Kami juga sedang mengembangkan bantal anti-mimpi buruk yang ditenagai listrik statis!”
Evelyn mengangguk pasrah. “Baik, kalian boleh tidur di lab. Tapi ingat, jangan sampai—”
“Meledakkan apa pun!” sambung Theo dan Elias kompak, menirukan suara Aiden dengan sempurna.
Sejenak, mereka semua terdiam. Bayangan Aiden yang hilang kembali merisak pikiran mereka.
“Kita ... kita pasti akan menemukan Aiden,” Evelyn berkata lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Dengan enggan, mereka pun berpisah. Evelyn berjalan perlahan menuju halte bus, pura-pura mau pulang. Namun begitu van butut Dr. Quantum—yang entah bagaimana masih bisa berjalan meski bentuknya lebih mirip kaleng sarden raksasa yang habis diinjak Godzilla—menghilang di tikungan, Evelyn berbalik arah.
Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka kembali pesan misterius itu.
“Jika kau ingin tahu kebenaran tentang Aiden dan Angie, temui aku di gudang tua di Haven’s Shadow, gudang dekat Sungai Charles, tengah malam. Datang sendiri. Jangan beritahu siapa pun.-P”
Evelyn menelan ludah, pikirannya berteriak bahwa ini adalah ide yang sangat buruk—sama buruknya dengan memberi makan piranha dengan tangan telanjang. Namun hatinya, oh, hatinya membisikkan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan Aiden.
Dengan tekad yang seperti datang dari dimensi asing, Evelyn memanggil taksi online. Sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan kumis lebat yang mirip ulat bulu yang sedang berpesta di bawah hidungnya, menatapnya heran.
“Gudang tua di pelabuhan? Tengah malam? Apa Nona yakin?” tanya si sopir, alis tebalnya terangkat tinggi.
Evelyn mengangguk. “Yakin, Pak. Dan tolong jangan tanya apa-apa. Saya sedang ... um, melakukan riset untuk novel misteri saya.”
Sang sopir hanya angkat bahu. “Baiklah. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti novel Nona berubah dari misteri jadi horor, ya.”
Perjalanan ke pelabuhan serasa adegan film noir yang dikencangkan. Lampu-lampu Cambridge berkedip-kedip laksana kunang-kunang metalik yang mabuk, sementara jalanan yang sepi serasa mencekam. Evelyn melirik jam tangannya: 23:55. Lima menit lagi.
Di sisi lain, van tua melaju dengan kecepatan yang bisa membuat Newton berguling dalam kuburnya. Di dalam, sekelompok ‘ilmuwan sinting’—setidaknya itulah yang tertera di stiker bumper belakang van—sedang dalam misi penyelamatan yang mungkin saja akan berakhir dengan mereka yang justru butuh diselamatkan.
“Aku masih tak mengerti kenapa kita harus mengikuti Evelyn diam-diam,” gerutu Theo, menatap tajam ke jalan gelap. “Bukankah lebih mudah kalau kita langsung tanya saja padanya?”
“Oh, Theo yang polos,” Dr. Quantum menepuk pundak Theo dengan dramatis. “Dalam dunia kuantum, bertanya langsung adalah tindakan yang terlalu linear. Kita harus berpikir dalam dimensi ke-11!”
“Dimensi ke-11?” Elias mengerutkan dahi. “Bukankah itu cuma teori?”
“Teori, kenyataan, apa bedanya?” Dr. Quantum tertawa kecil. “Einstein pernah bilang, ‘Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan’. Jadi, ayo bayangkan kita sedang menyelamatkan dunia tercinta dari invasi alien pengendali pikiran!”
“Berhenti!” Dr. Timeless tiba-tiba menjerit.
Van berdecit keras, nyaris menabrak tong sampah yang entah bagaimana bisa berdiri tegak di tengah jalan.
“Ada apa?” tanya Theo panik.