Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #63

Roda Takdir

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Satu, dua, tiga ekor. Tidak, puluhan. Ratusan? Ribuan!

Gerombolan kupu-kupu merah muda menari-nari di angkasa, sayap mereka berkilauan ditimpa mentari senja. Mereka memenuhi langit Kota Sembilan Tiga Perempat bagaikan konfeti raksasa yang ditebar Tuhan. Penduduk berdecak kagum, menunjuk-nunjuk fenomena langka ini. Namun tidak seorang pun yang tahu, bahwa kehadiran para kupu-kupu ajaib itu pertanda. Pertanda bahwa roda takdir mulai berputar.

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1526

Pasar berdenyut dengan kehidupan. Di antara kerumunan, dua wanita berjalan beriringan—seorang berambut merah menyala dan yang lain berambut pirang berkilau. Isabelle Rosewood dan Lucrezia Constantine—dua sahabat yang kontras tetapi tak terpisahkan.

“Oh, lihat apel-apel itu!” Mata Lucrezia berbinar-binar melihat buah-buahan segar di stan terdekat. “Sepertinya William kecil sedang mengidam apel.”

Isabelle tersenyum geli, “William kecil? Kau yakin itu laki-laki?”

“Entahlah,” Lucrezia mengangkat bahu, lalu mengelus perut buncitnya yang berumur lima bulan. “Tapi firasatku mengatakan begitu.”

“Mau kuperiksa?” tawar Isabelle, setengah bercanda.

Lucrezia sempat ragu, tetapi kepalanya tetap terayun ke bawah. “Boleh saja. Tidak ada salahnya juga, kan?”

Isabelle mendekat, meletakkan tangannya di atas perut Lucrezia. Seketika, sesuatu yang ajaib terjadi. Bayi dalam kandungan Lucrezia menendang, tepat di telapak tangan Isabelle. Keduanya terkejut, lalu tertawa bersamaan.

“Wow!” seru Isabelle takjub. “Dia pasti akan jadi anak yang luar biasa.”

“Dan cerdas,” tambah Lucrezia, masih terkikik. “Jadi, bagaimana menurutmu? Laki-laki atau perempuan?”

Isabelle memejamkan mata sejenak, seolah merasakan energi yang mengalir. Ketika dia membuka mata kembali, ada kilatan misterius di matanya.

“Laki-laki,” ucapnya mantap. “Dan dia akan tumbuh jadi pria yang luar biasa.”

Lucrezia terperangah. “Bagaimana kau seyakin itu?”

“Anggap saja ... insting seorang penyihir.”

Lucrezia naluriah menoleh ke kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar. “Hati-hati mengucapkan kata itu di tempat umum.”

“Benar juga.” Isabelle mendesah. “Tapi serius, aku bisa merasakannya. Anak ini akan luar biasa, Lucrezia.”

“Kuharap juga begitu.” Lucrezia tertawa kecil. “Kami memang sudah menyiapkan nama William untuknya.”

“William Constantine,” Isabelle menggumam. “Nama bagus. Pasti akan cocok untuk pria tampan dan cerdas.”

“Seperti ayahnya,” timpal Lucrezia, matanya berbinar membayangkan suaminya yang rupawan.

“Oh, tentu,” Isabelle mengangguk penuh. “Tapi jangan lupa, dia juga akan mewarisi kecantikan ibunya.”

Mereka tertawa lagi, menikmati momen persahabatan yang hangat di tengah hiruk-pikuk pasar.

“Hei, bagaimana kalau kita jodohkan anak-anak kita nanti?” usul Isabelle tiba-tiba.

Lucrezia mengangkat alis, “Maksudmu?”

“Ya, kalau kelak aku punya anak perempuan, kita akan jodohkan dengan William-mu. Pasti akan jadi pasangan yang serasi!”

Lucrezia tertawa. “Ya ampun, Belle. Anakku bahkan belum lahir dan kau sudah memberi jodohnya?”

“Mengapa tidak?” Isabelle mengangkat bahu dengan tersenyum jahil. “Lagi pula, bukankah itu menyenangkan jika persahabatan kita bisa berlanjut sampai anak cucu?”

Lihat selengkapnya