Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Para kupu-kupu merah muda masih asyik menari-nari di udara bagai badai konfeti yang menolak gravitasi. Namun ini bukan pesta ulang tahun biasa. Oh, tidak. Ini pesta pora kiamat di mana takdir dunia bergantung pada sayap-sayap rapuh makhluk cantik sewarna permen kapas itu.
Dinding pondok tua itu meledak dalam kepingan kayu dan debu, menampakkan sosok raksasa berbulu lebat yang menyeruak masuk dengan mata merah menyala dan liur beracun yang mendesis-desis. Namun bukan itu yang buat Angie, Kieran, Elina, Isabelle, dan William heran sekali.
Di belakang si raksasa, berdiri dua sosok mungil, yang kini bagaikan David dan Goliath versi miniatur. Matthias dan Layla—duo pahlawan cilik—mengacungkan ranting pohon seolah itu pedang Excalibur.
“Jangan khawatir, kami akan menyelamatkan hari ini!” teriak Matthias membara, begitu kontras dengan keadaan genting yang berlangsung.
Di sebelahnya, Layla, mengangguk antusias, “Betul! Kami akan kalahkan si jahat dengan kekuatan cinta dan ... um, kue jahe!”
“Apaan ini? Pementasan drama bocah?” bisik Kieran pada Elina.
“Sssh!” desis Elina. “Mereka pasti punya rencana.”
“Ya, rencana untuk membuat kita semua mati konyol,” balas Kieran sarkastis.
William menatap lekat bocah laki-laki itu. Ada sesuatu familier, sesuatu yang membuatnya merasa seperti sedang bercermin ke masa lalu. Atau mungkin masa depan?
Prumarion terbahak-bahak. “Oh, betapa menggelikan! Inikah bantuan dari para dewa? Dua bocah ingusan dan seekor raksasa bau kaki?”
Raksasa tersinggung. Geramannya mengguntur, tetapi sebelum si raksasa meluncurkan aksi, Prumarion segera menjentikkan jari. Sekejap, si raksasa berubah jadi seekor kodok gendut yang sangat bingung dengan dirinya.
“Krok?” protes si kodok, lalu melompat keluar pondok dengan malu-malu.
Layla tidak bisa menahan diri. Ia berlari ke arah Angie, berniat memeluknya. Namun Layla mendadak melayang, jemari Prumarion memainkannya di udara.
“Tidak! Layla!” Angie berteriak, tetapi badannya nyeri tak terkira setiap kali dia ingin bergerak bebas.
Prumarion menyeringai kejam, kemudian menjatuhkan Layla tanpa rasa manusiawi. Tubuh mungil itu membentur lantai kayu dengan suara debum yang menyakitkan.
“Kau!” Matthias menggeram. Dia maju, menghalangi Prumarion yang hendak melancarkan sihir lagi ke Layla. “Jika ingin menyentuh Layla lagi, kau harus melangkahi mayatku dulu, Penyihir Hina!”
William terkesiap. Kata-kata itu, gestur itu—semuanya begitu familier. Seperti melihat dirinya sendiri setiap kali ia melindungi Angie.
Prumarion mengangkat alis, “Oh? Dan siapa gerangan pahlawan cilik kita ini? Berani sekali kau bicara begitu padaku.”
Matthias menegakkan pundak, matanya memancarkan keberanian yang melampaui usianya. “Namaku Matthias. Matthias Gryphon. Dan aku adalah anak Angie Serenity dan William Constantine di masa depan.”
Hening sejenak. Bahkan angin pun terdiam, menunggu reaksi dari pernyataan mengejutkan itu.
Tawa menggelegar Prumarion yang pertama memecah keheningan canggung itu. “Masa depan? Oh, ini semakin menarik! Katakan sejujurnya, bocah, bagaimana caramu sampai ke sini? Membuka portal waktu dengan mainan plastik?”