Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Cahaya lilin berkedip-kedip dari jendela-jendela megah Manor Kertakala, bak mata-mata raksasa yang mengedip nakal. Di dalamnya, dentuman musik bergema di udara, bercampur tawa ceria dan dentingan gelas kristal—pesta perayaan kebebasan Kota Sembilan Tiga Perempat sedang berlangsung meriah.
Angie berdiri di sudut ruangan, gaun emasnya berkilau laksana sinar mentari yang terperangkap di dalam malam. Matanya menelusuri ruangan, mengamati setiap gerakan dan ekspresi yang hadir. Lord Kertakala berdansa bersama Isabelle, ayunan mereka seanggun sepasang angsa yang berenang di danau.
“Maafkan aku ...” Kyllian berupaya menahan getaran dalam suaranya. “Maafkan semua kesalahanku, Isabelle.”
Isabelle tersenyum lembut, matanya berkilau menahan air mata, “Waktu sudah mengubah kita semua, Kyllian. Kau bukan lagi pria yang kukenal dulu.”
“Tapi dosa-dosaku—”
Isabelle meletakkan telunjuk di bibir Kyllian. “Hari ini adalah hari baru. Mari kita mulai lembaran baru, Kyllian.”
Di sisi lain, Kieran berdansa dengan Morgana. Kieran tampak gundah, sesekali melirik Angie penuh kerinduan yang tak pernah tersalurkan.
“Kau masihlah mencintainya,” Morgana menyadarkan, bukan pertanyaan.
Kieran mengangguk. “Selalu. Tapi cinta bukan tentang memiliki, bukan? Ini tentang kebahagiaan orang yang kita cintai.”
Morgana tersenyum bangga, “Kau berubah, Kieran,” “Ayah pasti bangga padamu.”
“Aku akan menebus dosa-dosa Ayah mulai sekarang,” Kieran bertekad. “Kota ini akan berubah. Takkan ada lagi perburuan penyihir. Tak akan ada lagi ketidakadilan dan ketakutan.”
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Matthias dan Layla berdansa canggung dan menggemaskan. Kaki-kaki kecil mereka berayun kikuk, sesekali menginjak kaki satu sama lain.
“Aduh!” Layla terkikik ketika Matthias menginjak kakinya untuk kesekian kali.
“Maaf,” Matthias menggaruk tengkuk. “Aku … aku belum pernah berdansa sebelumnya. Di zamanku, anak-anak lebih suka main hologram.”
Layla mengerutkan dahi, “Holo-apa?”
“Ah, lupakan,” Matthias menggeleng. “Yang penting kau cantik sekali malam ini, Layla. Bahkan lebih cantik dari hologram putri dalam game favoritku.”
Pipi Layla merona merah, “A—aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Matthias. Tapi terima kasih.”
Musik jadi lebih lambat dan romantis. William muncul di depan Angie, mengulurkan tangannya dengan senyum menawan yang bisa meluluhkan hati batu.
“Bolehkah aku mendapat kehormatan untuk berdansa denganmu, Nona Serenity?”
Angie tersenyum, menyambut uluran tangan William tanpa ragu, “Dengan senang hati, Tuan Constantine.”
Mereka melangkah ke lantai dansa, tubuh mereka bergerak seirama dengan musik. Mata William tak pernah lepas dari Angie, seolah takut gadis itu akan menghilang jika ia berkedip sekali pun.
“Kau tahu,” William berbisik di telinga Angie “aku pernah bermimpi tentang momen ini. Namun kenyataan jauh lebih indah dari mimpi mana pun.”
Angie tertawa kecil. “Oh, ya? Apa dalam mimpimu itu kita juga mengalahkan penyihir jahat dan menyelamatkan Kota Sembilan Tiga Perempat?”
“Ya, tidak sedetail itu,” William menyengir. “Tapi ada satu hal yang sama.”
“Apa itu?”
“Dirimu. Akan selalu dirimu, Angie. Bahkan jika itu di kehidupan mana pun, aku berjanji selalu menemukanmu.”
Hati Angie berdesir. Dia menyandarkan kepalanya di dada William, mendengarkan detak jantung pria itu yang seirama dengan musik.