Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #66

"Ting!"

Cambridge, 2024

Kilau keemasan memotong udara, berputar-putar laksana bintang jatuh yang nyasar. Koin itu—perpaduan teknologi kuantum dengan sihir kuno—melayang anggun sebelum berdenting lembut di atas meja kayu ek yang diramaikan rumus-rumus rumit.

Ting!”

Kepala Aiden terangkat dari tumpukan kertas. Matanya yang sembab mengerjap-ngerjap, mencoba memfokuskan pandangan pada benda asing yang tahu-tahu di depannya. Koin itu berkilau aneh, seolah-olah punya cahaya sendiri. Satu sisi menampilkan angka-angka yang terus bergerak, sedangkan sisi lain dihiasi simbol-simbol misterius yang tampak berkedip jahil padanya.

“Apa-apaan?” Tangannya gemetar meraih koin itu.

Begitu jemarinya menyentuh permukaan dingin logam itu, gelombang kejut menyengat seluruh tubuhnya. Dunia di sekitarnya berputar cepat, warna-warna bercampur bak cat yang diaduk paksa. Matanya langsung terpejam erat, perutnya terasa mual—dan tiba-tiba, segalanya berhenti.

Matanya terbuka perlahan, mendapati dirinya masih di laboratorium Harvard. Mengerjap bingung dengan kepala yang masih pening. Apa yang baru saja terjadi? Mimpi? Halusinasi?

Matanya melirik kalender digital di dinding. 4 April 2024.

“Tidak ... tidak mungkin,” bisiknya parau.

Sebulan. Dia telah melompati sebulan ke depan.

Atau ... mungkinkah semua itu hanya ilusi?

Potongan-potongan ingatan membanjiri benaknya bak air bah. Pertengkaran hebat dengan Angie di apartemen. Angie yang memutuskan pulang ke Indonesia. Pesawat yang jatuh ke laut ... dan Kota Sembilan Tiga Perempat!

“Angie!” jeritnya, bangkit dengan tergesa-gesa sampai kursi terjungkal ke belakang. Keringat dingin membasahi dahinya.

Tanpa membuang waktu, ia menyambar jaket kulit dan meluncur keluar laboratorium. Koridor-koridor Harvard yang biasa ramai kini mencekam, serasa di setiap sudut meneriakkan bahaya. Langkahnya dipercepat, tak peduli kalau dia nyaris kehabisan napas.

Dia harus memastikan Angie baik-baik saja. Harus!

Mobil sport membelah jalanan Cambridge. Kepalanya berkecamuk, mencoba memisahkan kenyataan dan ilusi. Namun semakin berjuang, semakin kabur batas di antara keduanya.

❾¾

Déjà vu menyerangnya ketika langkah panjangnya lekas-lekas menyusuri koridor apartemen. Setiap detik serasa akrab, seakan ia terjebak dalam siklus waktu yang sama. Dia menggerakkan kepala ke kanak dan kiri, menyadari hanya ada satu cara untuk mengungkap kejanggalan ini.

“Aiden?”

Lihat selengkapnya