Beverly Hills, Los Angeles, 19 Februari 2050
Dengung halus mesin pengatur suhu memenuhi kamar. Hologram jam melayang-layang di sudut ruangan, angka-angkanya berpendar kebiruan: 06:59. Detik-detik menuju pukul tujuh pagi.
Bunyi ‘tik’ tiga kali, dan tepat saat jarum detik virtual menyentuh angka 12, anomali pun terjadi.
Udara bergetar.
Molekul-molekul oksigen tampak menari liar.
Dan sekejap mata, “ting!”—koin emas meluncur dari ketiadaan, berputar-putar di udara laksana gasing kosmik yang menertawakan hukum fisika. Cahaya yang berkedip-kedip jahil itu serasa mengolok segala logika dunia yang membosankan.
Matthias enggan membuka mata. Bibirnya mengulum senyum, mengenang petualangan kemarin yang bagaikan mimpi, tetapi sungguh nyata. Dia baru pulang dari misi penyelamatan ibunya dari Kota Sembilan Tiga Perempat, membawanya kembali ke pelukan ayahnya di tahun 2024. Petualangan yang menurut standar keluarga yang terkenal eksentrik—Gryphon—terasa luar biasa.
Kamarnya sendiri—bukti nyata bahwa dia memang putra ilmuwan jenius. Dinding-dinding kamarnya berupa layar sentuh raksasa—menampilkan pemandangan Mars yang berubah-ubah seiring cuaca planet merah itu. Poster holografik Matthias kecil dengan toga sebagai “Presiden Mars 2071” yang berkelip-kelip jenaka tertempel di salah satu sudut. Langit-langit pun kini menjadi layar raksasa, menayangkan galaksi-galaksi yang berotasi malas.
Bermacam perangkat aneh berserakan di setiap sudut, dari drone kecil menyerupai kunang-kunang yang terbang ke sana-kemari menyedot debu, hingga lengan mekanik raksasa yang bisa memijat punggungnya setelah seharian bermain Zero-G Quidditch.
Semua itu buah karya ayahnya—Aiden Gryphon, sang jenius yang namanya kini sejajar dengan Tesla dan para ilmuwan legendaris lainnya, tetapi tetap mampu membuat sandwich selai kacang terlezat sedunia—setidaknya, ya, menurut Matthias.
Teknologi dari Perusahaan Gryphon tidak pernah lepas dari label “Made in Mars”, sebuah lelucon keluarga yang berasal dari cita-cita konyol Matthias untuk jadi Presiden Mars suatu hari nanti—dan akan jadi saga yang tak lekang diceritakan turun-temurun.
“Matthias? Kau tak mau melewatkan acara ibu, kan?”
Suara lembut itu membelai gendang telinganya, tetapi Matthias masih enggan membuka mata. Dia menudungi senyumnya di balik selimut serat nano berteknologi tinggi saat langkah ringan ibunya memasuki kamar. Vanila dan kopi menguar, mengingatkannya pada mantra sihir yang susah ditolak.
Ibunya masih saja menggunakan gaya klasik untuk membangunkannya, padahal puluhan teknologi canggih di kamarnya bisa melakukannya. Namun itulah yang dia sukai dari ibunya—selalu menjaga sentuhan personal di tengah dunia yang semakin digital.
“Ayolah, Mr. Presiden Mars. Bangun atau kucium kau sampai tenggelam!”
Tantangan itu membuat Matthias membuka mata dan terkikik. “Mom! Aku ini sudah 14 tahun, tahu! Terlalu tua untuk ciuman!”
Angie tertawa. “Oh, ya? Kalau begitu, kurasa kau juga sudah terlalu tua untuk cokelat panas spesial buatanku ...”
“Tidak! Aku masih anak kecil! Anak kecil yang butuh cokelat!” Matthias langsung melompat duduk, memicu protes Anile—si kucing hitam bermata hijau cemerlang—mendesis karena tidurnya terganggu.
“Dasar. Ayo cepat mandi, sarapan sudah siap. Kau mau ikut Dad atau—”
“Ikut Mom!” potong Matthias cepat. “Kalau ikut Dad, bisa-bisa aku pulang bau kayak bengkel Galaxy Express.”
“Tepat sekali!” Angie terkekeh. “Kau tahu, kan, novel baruku ‘Wardenclyffe’ baru saja dirilis minggu lalu dan—”