Sembilu

Bentang Pustaka
Chapter #1

Bagian Awal

Macam-macam hal meletupi kepalaku dengan buru-buru. Suara, visual, kerumunan, pergerakan, aroma, ancaman, berhamburan dari kegelapan. Mungkin sebaliknya, aku yang sebelumnya berdiam dalam kesunyian, seketika terlempar dalam gegap gempita yang tak kukenal.

“Gaes, gaes,” seorang anak sekolah, earphone tak lepas dari telinganya, “lirik lagu ‘Drive Save’ ini edan, geura.”

Gerombolan anak putih abu-abu menghalangi jalanku. Mereka berempat atau berlima, bersorak dan tertawa bersama-sama. Meributkan lagu di telepon genggam mereka.

“Naon kitu? Lagu Rich Brian keneh?” tanya satu-satunya perempuan di antara mereka. Berkerudung, tetapi seperti laki-laki tingkahnya.

“Iya. Ini kata-katanya, I’m tryin’ hard to stop the rain. Cause smilin’ doesn’t feel the same.”

“Artinya apa?” tanya temannya yang memeluk gitar. Mengingatkanku kepada seseorang.

“Masa tidak tahu?” teriak si pemilik earphone. “Aku berusaha keras menghentikan hujan. Sebab, tersenyum tidak lagi terasa sama.”

“Iya, artinya apa? Makna? Maksud? Meaning? Ngarti teu?” tanya si pemeluk gitar mengotot.

Pemilik earphone mengangkat bahu, “Teuing. Tidak tahu. Tanya Rich Brian, jangan aku.”

“Storm X-Men meureun,” sergah temannya yang lain, “menghentikan hujan.”

“Bukan,” debat si Pemeluk Gitar, “Avatar, pengendali air.”

Mereka tertawa, menyakitkan telinga.

Napasku tersengal-sengal. Keringat berlelehan, menatap penuh ketakutan. Aku di antara orang-orang berjejalan di dalam kereta yang rasanya bergerak tak seimbang. Aku meraih-raih besi pegangan di langit-langit kereta. Berupaya segera menyadari, di mana aku? Mengapa aku ada di sini? Aku tak mengingat apa-apa. Dalam pikiranku lebih banyak tanda tanya.

Aku mulai mengkhawatirkan keadaanku. Terjebak dalam kerumunan orang-orang tak kukenal, sedangkan aku tak mengingat apa-apa. Sekuat apa pun aku mencoba meraih memori, titik kecil di benakku justru berlari pergi. Aku mengatupkan mata, mencoba membuang suara-suara. Itu amat menyiksa, tetapi aku merasa harus melakukannya.

Rasanya aku sanggup mendengar detak jantungku sendiri sampai perlahan kemudian titik kecil dalam ingatanku kembali, memberi pencerahan yang aku cari-cari. Ingatan yang akan menolongku saat ini. Namamu ... aku ingat namamu.

“Kanya!”

Mataku terbuka. Aku menoleh ke sana sini. Mencari-cari. Aku harus menemukanmu. Membalikkan badan mengikuti maksud hati. Seseorang menghalangi mauku. Dia berdiri dengan pandangan seperti menembus pikiranku. Sesaat menenangkan gejolakku. Perempuan dewasa yang sepintas membuatku berpikir bahwa dia orang yang kukenal. Pasmina sewarna terung membingkai wajahnya yang sepucat tepung. Anak-anak rambut di atas kening sempitnya tak tersisir rapi. Beberapa helai menjuntai lengket dan tak karuan. Aku menggeleng kemudian.

“Permisi.”

Kedua tangannya menahan bahuku.

“Koko.”

Lihat selengkapnya