Pada kenyataan, hari-hari telah datang, lalu hilang, sedangkan aku tak kunjung menemukanmu mencariku, Kanya.
Aku terlambat menyadari, engkau tak pernah menoleh ke belakang lagi. Aku tidak tahu apakah engkau bahagia ataukah menderita. Namun, aku semakin paham sekarang, engkau tidak pernah menoleh ke belakang.
Mungkin engkau tak meniatkan diri untuk menghapusku. Namun, engkau menyambut hari-hari tanpa pernah menoleh ke belakang maka aku terlupakan.
Robbana ....
Kadang aku bertanya-tanya. Apakah hal yang kurasakan pun sama melanda semua manusia yang pupus cinta? Semacam inikah kerentanan yang mereka derita? Aku sudah merintih begitu lama. Bahkan, hanya karena aku merindukanmu, Kanya. Mengharap engkau singgah ke mimpiku.
Kadang, terpikir olehku untuk berbagi kisah ini kepada seseorang. Siapa pun. Menumpahkan semua yang mengapung di permukaan pikiran. Namun, aku tahu, hanya hatimu yang layak menerima ceritaku.
Sedangkan semakin hari aku kian ragu, apakah engkau berkenan mendengarkan?
Tidakkah engkau akan semakin gamang terhadapku? Meludahi ceritaku.
Aku merasa aman ketika cerita ini tak kukisahkan. Pada saat yang sama, rasanya, seperti menyimpan sebukit kehancuran. Ini akan menjadi romansa tersedih sepanjang masa. Bahkan, bukan kasih tak sampai, melainkan rasa yang tidak pernah terkatakan. Haram diungkapkan.
Aku akan terus berkarya, Kanya. Seperti pernah kau pesankan dahulu. Engkau tetap akan menjadi kampung halaman bagi semua rasa yang kubisikkan dalam setengah juta kata.
Akhirnya, aku paham bahwa aku tidak menghendaki sebuah pertemuan. Aku lebih mendambakan keterusterangan. Aku berharap engkau katakan. Meski kemungkinannya kian tak ada, aku tidak akan berhenti berdoa; kelak engkau mengakuinya.
Jika tidak, aku berharap agar hidupku lebih lama daripada umurmu, agar kelak bisa kuziarahi pusaramu. Sebab, aku tak percaya engkau akan melakukan sebaliknya. Aku akan menemuimu dan bercerita kepadamu ketika engkau sudah tak bisa lagi menjawabku.
Semoga aku cukup beruntung mengalami itu.
Kukisahkan kepadamu, hari itu, aku ada di dalam perut kereta api kelas ekonomi menuju Malang dan merasa nasibku mendadak begitu malang. Bangku tiga karcis berhadap-hadapan, selain aku, sisanya adalah satu gerombolan. Mereka lima muda-mudi yang merdeka pikirannya dan merasa dunia akan selalu baik-baik saja. Termasuk ketika berlima mereka mendorongku ke muka kamar kecil dan hampir-hampir melemparkan gitarku sembari cengengesan.
Kami belum seharian saling mengenal. Aku hanya tahu bahwa mereka berlima mahasiswa perguruan tinggi yang namanya tidak terkenal dan kabur dari perkuliahan demi pendakian ke puncak Sindoro Sumbing. Iya, mereka salah naik kereta. Namun, tak seorang pun pusing karenanya. Mari kita tersesat, sorak mereka.
Tentangku, mereka hanya tahu, aku pecinta kereta. Melakukan banyak perjalanan hanya karena suka dan mengamen dari kota ke kota untuk membiayainya.
Mereka memintaku menghibur para penumpang yang mulai merasa bosan dibekap perjalanan panjang dari Bandung menyisir Jawa bagian selatan. Kereta ini, telah beberapa waktu tak seperti dahulu. Di dalamnya tak ada lagi penjaja makanan apalagi seniman jalanan. Lebih nyaman sekaligus membuat penghuninya teramat kesepian.
“Saya hanya tahu lagu-lagu Titi DJ.”
Aku masih saja menoleh kepada lima muda-mudi kurang ajar, tetapi membuatku meremaja itu. Bukan kepada penumpang lain yang sebagian mulai memperhatikan tingkah kikukku. Berdiri membelakangi pintu gerbong, menyebelahi kamar kecil yang agak pesing.
“Aha ….” Terangkat tangan salah satu pemuda yang sempit jidatnya, kupluk di kepala. “… ‘Sang Dewi’.”
Aku separuh tertawa, mengibaskan tangan sembari meloloskan tali gitar ke punggung hingga melintang.
Si Kupluk lalu berdiri di antara kursi-kursi, jalur masinis dan para polisi kereta memeriksa karcis penumpang. “Penontooon …,” serunya setengah dangdut, “… ada yang mau request lagu Titi DJ?”
Tidak banyak yang benar-benar memperhatikan. Terlebih kursi yang berhadap-hadapan membuat selang-seling baris wajah yang bisa aku temukan.
“‘Jangan Berhenti Mencintaiku’, Mas!” Teriakan dari kejauhan. Seorang ibu berbahu tebal, berkerudung instan di barisan pertengahan. Detail wajahnya tak mudah kupastikan. Namun, jelas dia membuatku sedikit tersipu.
Aku mengatur kunci dahulu. Memastikan setiap nada agar terpetik merdu.
“Pensiun balapan, Mas?” celetuk penumpang lain. Kali ini laki-laki. Aku mendengar saja, tak merasa harus memeriksa siapa pemilik suara. Apalagi menjawabnya. Aku tahu maksud dia. Kurasa, jika dia pergi ke Glodok pun, setiap pemilik toko di sana akan dia anggap mirip dengan pembalap kenamaan oleh sebab kesamaan wajah turunan.
Akan tetapi, itu ide yang rupanya banyak diamini. Beberapa orang mulai menimpali. Memirip-miripkan. Membahas-bahasnya. Termasuk lima muda-mudi kawan seperjalananku ini.
“Apa kataku, Bang? Memang kalian seperti om dan keponakan.” Si Kupluk nyeletuk sembarangan. Bukan “kakak-adik” perumpamaan yang dia pilih, melainkan om dan keponakan. Begitu percaya diri berpikir aku pantas menikahi tantenya.
Dia lalu menghampiriku, menenteng topi “Jason Miraj” yang kutinggalkan di bangku. Menindih gulungan matras di atas ransel pengelana yang tak kebagian bagasi. Si Kupluk melesakkan topi itu ke kepalaku, “Kenakan topi koboimu supaya agak tersamar. Salah-salah orang-orang itu minta tanda tangan Abang gara-gara salah orang. Atau, minta hape karena mengira Abang bintang iklan telepon pintar.”
Sedikit risi, tetapi kubiarkan dia mematut-matut topi itu di kepalaku. Sebab, senar-senar gitar nadanya belum patut benar. Si Kupluk mengangkat ibu jari, lantas melompat ke tengah kerumunannya lagi.
Aku masih terus tersenyum, tak menanggapi komentar para penumpang. Itu pun bukan pengganti jawaban. Aku tersenyum karena aku tidak tahu cara untuk tidak tersenyum. Seperti itu orang mengenalku sedari dahulu. Beberapa orang yang tak tahu akan susah memahami senyumku. Mereka menilaiku tak peka terhadap keadaan karena terlalu receh memberikan senyuman. Bahkan, dalam kesedihan. Padahal, memang seperti ini komposisi wajahku. Aku tak bisa mengatur senyumku agar datang dan hilang mengikuti perasaan.
“Nama saya Kashmir … yang artinya ‘surga’,” aku merencanakan sebuah perkenalan yang langsung menjawab semua rasa penasaran, “… saya seorang Muslim, keturunan Tionghoa, bernama India, berbahasa ibu Sunda, dan tidak punya hubungan darah apa pun dengan orang terkenal mana pun.”
Beberapa penumpang tertawa. Aku tahu, beberapa di antara mereka menganggap ini tabu. Tak banyak orang yang merasa nyaman menyebut SARA pada perkenalan kali pertama. Namun, aku tak minat memikirkannya. Sebab, pengalaman memberi tahu, meski tak dikatakan, mereka ingin tahu hal-hal semacam itu.
“Tadi ada yang pesan ‘Jangan Berhenti Mencintaiku’?”
Ibu berbahu tebal langsung melambai-lambai. Aku mulai curiga dia guru TK. Kubaca dari kelincahan dan bahasa tubuhnya.
“Saya pilih lagu lainnya, ya, Bu.”
“Yah.” Penonton kecewa.
“Saya punya gantinya. Tidak kalah romantis.”
Aku memainkan intro lagu. Guncangan kereta memberi ritme yang melahirkan suasana. Aku menemukan romantisme itu pada pergerakan semu di luar jendela.
“Judulnya ‘Kala Senandung Itu Pergi’ …,” aku mulai menemukan banyak wajah menatapku. Bahkan, mereka yang duduk membelakangiku, “… ini lagu tentang seseorang yang mencintai sepenuh hati. Namun, dia tahu dia tidak akan pernah memiliki. Lalu, dia merelakan kekasihnya itu pergi meski kenangannya tidak akan pernah terganti.”
Mulutku tak bicara lagi. Kemudian, bunyi kunci berganti-ganti. Nada memenuhi kereta. Menyepikannya dalam waktu yang sama.
Aku lebih percaya pada kekuatan lagu ini, alih-alih pada caraku bernyanyi. Ketika bait berikutnya kujeda dengan bunyi gitar saja, lalu kuperhatikan tatapan orang-orang, padanya segera kutemukan kepedihan.
Pada bait kedua, aku mulai menemukan beberapa orang yang berair mata, sisanya menikmati saja.
Aku melangkah pelan agar laguku kian banyak yang mendengar. Bernyanyi dengan senyuman meski sama dengan yang mendengar, batinku tidak baik-baik saja karenanya.
Seandainya ada biola, niscaya kian perih udara. Aku percaya, lagu berbicara dengan nada dan jiwa yang merdeka dari definisi-definisi. Menyusupi batin manusia tanpa menerangkan makna kata per kata.
Mendekati ujung lagu, aku menuju bagian tengah barisan bangku-bangku, mengirim kerapuhan itu atau kerapuhan itu yang memangsaku. Aku merasa bukan lagi manusia, melainkan lagu yang kunyanyikan.
Selesai.
Ibu yang kuduga guru TK itu berdiri dan bertepuk tangan kencang. Mungkin dia salah mengira, dirinya baru saja diangkat menjadi juri ajang pencarian bakat. Namun, tepuk tangan itu bertambah-tambah. Menular, mengajak-ajak teman. Beberapa orang bersuat-suit. Bayaranku menyanyi lima menit kurang sedikit.
Aku tidak sungguh-sungguh mempertimbangkan apa yang orang-orang lakukan. Sebab, sejak nada pertama hingga aku menyelesaikannya, aku merasa tidak sepenuhnya ada di tempat ini. Aku tak memetik nada ini demi siapa pun.
Kecuali engkau, hanya kereta yang memahaminya.
Sepuluh tahun kedua, aku begitu mencintai kereta. Tak mampu bosan merasakan roda-roda bajanya menggilas rel, bunyi peluit yang memulai perjalanan dari setiap stasiun, pula pemandangan matahari terbit dan tenggelam di luar jendela.
Di kereta, aku selalu berhasil mengenangmu, cerita yang telah berlalu. Meski belakangan, setiap perjalanan rasanya seperti menusukkan rintihan piano Yiruma ke telinga. Menyembilu batinku. Seandainya hari itu tak pernah ada, barangkali mimpiku, tentangmu, masih hidup dan menggebu. Sebab, apa yang tak tersampaikan adalah napas yang memanjangkan umurku.
Aku rela menua dengan kenangan dan harapan. Namun, matamu, hari itu, adalah jawaban. Bahwa aku telah selesai pada hidupmu. Setelah aku memelihara asa hampir seperempat abad lamanya, sekarang apa? Aku hanya memiliki gitar tua, ransel pengelana, tas tidur, selimut tenun toraja, dan matras bergelombang tempatku rebah di mana pun malam mencegah kakiku melangkah.
Mengasihimu seperti membincangi Tuhan. Tarik ulur rasa hingga ke batas yang tak berdosa. Ia membolehkanku mengingatmu, tetapi tak melampaui itu. Lalu, melanjutkan hari, dari kereta ke kereta. Masih dengan kenangan, air matamu dan suara bidadarimu, dahulu.
***
TELEPON genggam mengentak penuh dendam. Tanpa suara, hanya getaran yang menyentak dada. Kali ini panggilan masuk. Aku hampir-hampir melompat sembari menyumpah serapah. Menelepon orang pada pagi buta semacam ini sama saja dengan perundungan tak termaafkan. Aku menyesal, tadi tak mematikannya sekalian.
Begitu terbaca nama penelepon di seberang, berlipat ganda rasa kesalku kemudian. Sebab, mau atau terpaksa aku tetap harus menerimanya. Ini pula rupanya alasan aku menyetel alarm sepagi buta ini. Memori yang datang amat lambat.
“Ben ....”
“Selamat malam, Pak Ustaz.”
Aku mengangguk-angguk. “Aaamiiin.”
“Wah, salut. Pak Editor sekarang rajin shalat malam.”