Masih ingatkah engkau, Kanya, dari derit roda kereta, ceritamu bermula.
Engkau datang dari sebuah kota yang tak banyak orang menggunjingkannya. Kota sekepal dengan jalan-jalan aspal berlubang-lubang. Kotoran kuda membercaki permukaannya. Kota yang orang lupa, sejarah berkali-kali lahir di sana. Bahkan, ketika negeri ini belum bernama.
Tentang kotamu ingatan yang mendekam tinggal udara yang kian menghangat, debu menghitamkan udara, dan aroma sampah basah. Semakin membosankan dan kering harapan. Perlahan terputus dari ingar bingar masa depan.
Kereta lokal datang dan pergi, sekali dalam satu hari. Pilihanmu tak ada lagi. Berbaju kurung, kau tinggalkan rumahmu sewaktu pagi masih muda, belum menyala. Kau geret badan beliamu dengan semangat yang menyalak-nyalak. Kau tak ingin bernasib seperti kotamu. Tertinggal dan dilupakan.
Di punggungmu kau ikat bakul bambu yang engkau bisa masuk ke sana, saking besar ukurannya. Di situ, kau lesakkan macam-macam hasil tanah keluargamu yang menyuapi banyak mulut sejak kelahiranmu hingga adikmu yang ketiga.
Kereta itu mengantarmu ke kota provinsi. Tempatmu menjual semua isi bakul bertuahmu dan membawa pulang setumpuk ikan asin sebagai ganti. Ikan-ikan gepeng dan garing yang kemudian dipilah apik oleh ibumu; dibungkusi dalam plastik-plastik kecil. Dini hari berikutnya, bapakmu menjualnya ke pasar dekat rumahmu. Mendorong gerobak sewaktu azan awal belum disuarakan. Adik-adikmu satu dua membantu. Sebelum mereka berangkat ke sekolah begitu terang matahari tak bisa dicegah.
Sekolah yang sama tempatmu lulus, setahun lalu. Sekolah dasar yang jaraknya selemparan batu dari pasar. Begitu. Setiap hari.
Ya. Kau masih sangat belia. Itu mudah ditebak dari keremajaan di matamu yang belum sempurna. Juga bahasa tubuhmu yang banyak malu. Bahkan, meski engkau bersosok perawan yang segera matang, aku jelas tahu, engkau teramat belia, sewaktu wajahmu memerangkap pandanganku, kali pertama.
“Hatur nuhun, Ko. Terima kasih.” Suaramu rapuh, tetapi berusaha kukuh. Pagi itu, kabut masih membasahi udara, sewaktu aku melihatmu sempoyongan menggusur bakulmu yang penuh macam-macam buah dan sayuran. Hari pertama aku bersekolah di kota. Celana panjang abu-abu yang kedodoran dan kemeja lungsuran aku kenakan.
“Ke pasar, Neng?”
Aku mengangkat bakulmu ke tepi kereta yang berhadap-hadapan bangku tempat duduknya. Tidak mudah ketika isi kereta berjejal-jejal manusia: para buruh, pedagang pasar, dan anak-anak desa yang bersekolah ke kota. Macam-macam aroma meremas udara.
“Iya, Ko.”
Engkau bukan orang pertama yang memanggilku begitu. Aku merasa baik-baik saja meski rasanya sebutan itu tak pada tempatnya. Selain mataku yang tak lebar terbuka, aku tak tahu apa-apa perihal budaya Tionghoa.
“Sendirian?”
Kita berdiri berhadapan. Terjepit di antara para penumpang. Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan. Engkau mengandalkan bakul beratmu agar seimbang badanmu. Sebelah tanganmu menggenggam pinggiran bakul.
Kepalamu, setelingaku.
Engkau mengangguk.
“Sudah lama?”
Engkau mengangguk lagi. Agak menunduk tatapmu. Namun, tidak tekadmu. Aku melihat semangat mengaum di matamu, hari itu. Pada sosokmu yang malu-malu, aku meyakini kekuatan besar yang mendekam dalam pikiran.
Engkau mengepang rambutmu yang panjang. Selendang panjang kembang-kembang menyampiri leher. Baju kurung ungu membungkus badanmu. Satu bahan untuk baju dan rok panjang. Atasan lengan panjang, bawahan semata kaki ujungnya sesekali menyentuh lantai kereta, setiap kau sedikit merunduk mengikuti guncangannya.
“Turun di mana, Neng?”
Aku ingin mencebur dalam matamu, pagi itu. Sekadar mencerap perjuanganmu dan ingin tahu kisah di sebalik itu.
“Kiaracondong, Ko.”
Stasiun yang sama denganku. “Setiap hari?”
Senyummu mekar, mengangguk kemudian. Namun, engkau tak menatapku. Senyummu seperti milikku. Beberapa kali kereta berhenti di stasiun-stasiun kecil, menjeda obrolan kita yang satu-satu.
“Harus pagi-pagi sekali, ya?”
“Iya …,” engkau menyampirkan sebelah selendang ke bahu kanan, “… kalau tertinggal kereta, tidak bisa jualan.”
“Bukankah ada angkot?”
“Lama, Ko. Harus berganti empat kali. Ongkosnya mahal.”
Aku tersenyum. Bukan karena ada yang jenaka, tak tahu mengapa, aku begitu sering melakukannya. Sekadar jeda di antara kata-kata. Bahkan, aku tersenyum saat berbicara.
“Pulang jam berapa?”
“Sore, Ko.”
“Sore?”
Engkau mengangguk dengan sedikit tenaga. “Belanja dulu.”
“Beli apa?”
“Jajanan pasar dan ikan asin.”
Ah, pembicaraan kita semakin beranak pinak.
“Untuk lauk?”
Kali ini engkau menggeleng. “Untuk dijual lagi.”
“Jadi, Eneng pulang pergi bawa dagangan?”
Engkau mengangguk. Suara-suara di sekeliling kita kian bergemuruh.
“Ikan asin saya titip dulu di stasiun. Jajan pasar saya jual berkeliling. Sore saya pulang bawa ikan asin.”
Aku tercekat waktu itu. Mengukur betapa kuatnya badan lemahmu.
Orang-orang yang baru masuk kereta saling menyapa, bertemu penumpang yang dikenalnya.
“Tidak sekolah, Neng?”
Tidak sekadar mengisi waktu, aku memang benar-benar ingin tahu. Engkau masih begitu belia. Aku merasa engkau tidak berada di tempat yang semestinya.
“Sudah lulus, Ko.”
Aku menahan kalimatku, tetapi tak bisa lama-lama. “SD?”
Engkau mengangguk. Berubah kesan di wajahmu. Senyum menghilang dari bibirmu. Ada sesuatu pada tatapanmu.
Aku menyesal bukan kepalang.
Engkau menyiapkan dirimu. Stasiun kita akan tampak sebentar waktu. Cukup banyak orang yang duduk segera berdiri. Tak berapa lama, kereta benar-benar berhenti.
“Saya bantu.”
“Jangan, Ko.”
Aku tidak sedang berbasa-basi. Aku angkat bakulmu dan segera sadar, seberapa berat usahamu menjalani keseharianmu. Bahkan, bagiku, bakul penuhmu ini memaksa begitu banyak tenaga untuk mengangkatnya.
“Sudah, Ko. Tidak usah. Berat.”
Aku tak menjawab. Tersenyum saja. Sampai di muka pintu aku meletakkan bakulmu, lalu melompat ke lantai stasiun. Aku menurunkan bakulmu dan berusaha tak menampakkan kepayahanku saat melakukan itu.
Engkau menyusul bakulmu.
“Terima kasih banyak, Ko.”
Aku mengangguk. Barangkali engkau pun tahu, senyumku untukmu bermaksud mengelabuimu. Sebab, tak ada yang sedang kurayakan. Aku bersedih untukmu. Bahkan, untuk alasan-alasan yang belum kuketahui ketika itu.
Kereta hendak berangkat lagi. Para penumpang baru berlompatan mendaki pijakan besi, naik lagi ke pintu terbuka. Ketika roda-roda baja berputar lagi aku berkata kepadamu, “Nama saya Kashmir. Besok kita ketemu lagi?”
Engkau menatapku sembari susah payah mengangkat bakul bambu ke punggung, menalinya dengan selendang yang kau simpulkan di bawah lehermu. Engkau tak tersenyum, tidak cemberut, tidak bersuara. Sampai pintu stasiun melenyapkan sosokmu dari mataku.
Hari itu aku, ingat benar, apa pun yang dilakukan kakak-kakak kelas pada hari pertama sekolah, tidak menarik minatku. Penataran Pancasila, baris-berbaris, dan beberapa hal yang mudah dilupakan. Aku ingin cepat-cepat pulang supaya cepat berganti hari dan pagi berikutnya aku menumpang kereta lagi.
Jika pagi itu aku tidak membelokkan perjalananku, mungkin selamanya kita tak akan bertemu. Semestinya aku menaiki Bus Damri dari Pasar Tanjungsari yang berujung di Pasar Kebon Kalapa. Aku bisa turun di Buah Batu, perjalanan ke sekolahku tinggal menyusuri trotoar dan jalan berbatu.
Akan tetapi, sesuatu telah membujukku untuk naik angkot dan memburu kereta itu. Mengapa begitu, aku tidak tahu. Keinginan yang tiba-tiba datang dan aku tidak bermaksud menentang. Alasan sepelenya karena aku gampang pusing setiap naik bus dengan asap knalpot hitam seperti tinta gurita itu. Kepala seperti terayun-ayun, perut bergolak, tenggorokan hendak menyentak. Itu jarang terjadi jika aku naik angkot dan tidak pernah kurasakan setiap naik dolak Pak Haji.
Akan tetapi, kukira di atas segalanya, ada takdir yang mempersinggungkan kita, di kereta.
Pagi kedua, aku menghitung rangkaian kereta. Mengira-ngira, sehari sebelumnya, kita bertemu di gerbong yang mana. Aku tidak yakin apakah aku memilih gerbong yang benar. Sebab, aku tak menemukanmu pagi itu. Aku sisir setiap sudut kereta, gerbong ke gerbong. Dari ujung ke ujung. Namun, aku tak menemukanmu. Tidak menyaksikan kelebatan selendangmu, bakul bambumu.
Berdiriku gelisah sepanjang perjalanan. Kepalaku menoleh-noleh hampir tanpa jeda. Berharap engkau terselip dalam pencarianku. Wajahmu membayang lebih dahulu. Sosokmu nyata dalam imajinasiku. Namun, tak kunjung menjadi realitasmu. Engkau tak tampak di mana-mana. Hingga akhir perjalanan kereta.
Hari ketiga begitu juga, selanjutnya tidak ada yang berbeda. Aku tetap melakukannya. Menyusuri gerbong demi gerbong. Ke depan, lalu ke belakang. Mengabaikan keluhan orang-orang, setiap aku mengoyak padatnya penumpang. Berakhir di gerbong terakhir dengan hasil yang sama: engkau tetap tak ada.
Setiap kereta sampai di Stasiun Kiaracondong, aku menengok semua pintu kereta. Mencari-cari barangkali aku melewatkanmu. Menatap tempatmu berdiri beberapa hari sebelumnya. Sewaktu aku mengenalkan namaku dan engkau membisu. Tidak terjadi apa-apa. Engkau tetap tak ada.
Aku lalu mengira-ngira apa yang terjadi kepadamu. Terpikir, apakah pertanyaan terakhirku begitu melukaimu? Aku percaya engkau tidak menikmatinya. Kenyataan bahwa sekolahmu yang baru selangkah tak membahagiakanmu. Engkau tidak mengatakannya, tetapi matamu mengungkapkan itu kepadaku. Aku membaca tatapanmu yang bercerita.
Aku merasa, engkau berbeda dengan anak-anak seusiamu yang kutemui sebelum-sebelumnya. Mereka yang terpaksa putus sekolah, tetapi tidak pernah menyesalinya. Menyalahkan orang tua, tetapi menikmatinya pada waktu yang sama. Tentu karena mereka tak tahu apa yang akan mereka jalani pada masa setelah itu.
Anak-anak itu menyisir pinggiran kota dengan kecrekan di tangan mereka atau sekadar tangan ditadahkan, meminta orang-orang mengasihaninya. Engkau tidak seperti itu. Aku menangkap keagungan pada bahasa tubuhmu. Harga diri yang datang begitu dini. Kelahiran kita tak berjarak lama, kurasa. Aku lebih dahulu dua atau tiga tahun sebelum engkau menghirup udara.
Aku menerima kesan yang sama. Bahwa kita memiliki banyak kemiripan. Aku pada usiamu beberapa tahun sebelumnya, rasanya juga punya pemikiran yang serupa. Bahwa, kita mendewasa sebelum waktunya. Jika itu kuanggap sebagai sebuah keberuntungan, kita adalah bocah-bocah yang meninggalkan masa kanak-kanak karena sebuah pemahaman. Keyakinan bahwa masa depan mesti diperjuangkan. Ilham yang tak datang terhadap setiap anak pada usia kita yang belia.
Akan tetapi, aku tidak benar-benar tahu. Sebab, aku segera kehilanganmu.
***
“BAGUS kirimannya, A?”
Aku sedang menyandarkan lembar-lembar tripleks yang baru saja turun dari mobil pemasok ke dinding gudang sewaktu Pak Haji masuk membawa penggaris besi dan pemotong tajam dalam satu genggaman. Di telinganya menyelip pensil tukang.
“Bagus, Pak Haji,” aku mengelus permukaan lembaran kayu olahan itu, “… sudah kayak pipi bayi saja saking halusnya.”
Pak Haji tertawa tanpa membuka mulutnya. Selalu, kerut di dua sudut matanya membuat kegembiraannya seperti hasil sebuah paksaan.
“Bawa ke sini selembar, A.” Pak Haji berjongkok sambil menyiapkan penggaris dan pemotongnya.
Aku mengangguk sembari memisahkan selembar tripleks dari tumpukannya. “Pak Haji mau membuat apa?” Hati-hati kuletakkan tripleks di depan Pak Haji agar tidak jatuh kaget dan mengepulkan debu.
“Bu Iroh perlu sekat di warungnya.”
Aku mengangguk-angguk. “Saya potongkan, Pak Haji.”
Pak Haji menggeleng. “Pegang ujungnya saja,” mulai menggaris dengan pensil gepengnya, “... Satu lembar dibagi dua.”
Aku masih mengiakan dengan anggukan. Aku mengerti, Pak Haji bukan juragan toko material saja. Dia tetangga yang baik bagi hampir seribu keluarga yang tinggal di permukiman gunung ini. Ikut repot setiap kali tetangga-tetangga sibuk ini itu. Selalu siap jika ada yang membutuhkan isi tokonya. Dari pasir dan batu untuk membangun bangunan atau papan kayu untuk mengubur jenazah.
Tidak rumit hitungannya. Pak Haji seperti sedang membagi-bagi hadiah saja. Walau begitu, tetangga-tetangga selalu tahu diri. Tak kemudian memanfaatkan keadaan, lalu memberinya terlalu banyak beban. Satu dua terlambat melunasi tagihan, tetapi tidak pernah mengabaikan perhitungan.
“Tripleks saja, Pak Haji?”
Pak Haji menaruh penggaris besi, rapat dengan garis pensil, lalu menekan ujung pemotong isi ulang kuat-kuat. “Dengan kayu, paku. Tadi Pak Haji sudah bilang ke Wawan agar disiapkan.”
“Oh, yang di dolak?”
“Sudah dinaikkan?” Tangan legam Pak Haji bergerak sigap. Dua kali menggaris dengan pemotong hingga tripleks tebal itu terbelah dua.
“Sudah, Pak Haji.” Aku mengambil alih langkah setelahnya. Menumpuk potongan tripleks itu, lalu memindahkannya ke pinggir. “Saya ambil rafia dulu, Pak Haji.”
“Minta Pipin bantu, A.”
Aku mengangguk, lalu berlalu. Waktu kecil terdengar biasa saja. Namun, pada hari-hari itu, sewaktu aku meremaja, mulai merasa tidak pada tempatnya setiap Pak Haji memanggilku “Aa”. Rasanya tidak tepat saja. Aku ini siapa? Anak asing yang menumpang hidup di rumah Pak Haji entah sejak kapan. Aku belum pernah mendengar cerita lengkap perihal sejarahku sendiri waktu itu. Bagaimana ceritanya aku bisa berada di rumah Pak Haji masih menjadi misteri.
Hal yang kurekam dalam pikiran hanyalah Nek Ipah yang tinggal di kamar pinggir jalan, bagian rumah paling ujung milik Pak Haji. Dia merawatku sejak aku mulai bisa mengingatnya. Mungkin sejak sebelum aku bisa bicara. Nenek lembut tutur katanya itu, yang bicara kepadaku bahkan dengan bahasa Sunda lemes, meninggal sewaktu aku lulus SD. Sepeninggal Nek Ipah, aku mulai mengurus diriku sendiri. Menempati kamar Nek Ipah, membantu macam-macam pekerjaan rumah dan bersekolah.
Pak Haji tak pernah jelas memperlakukanku sebagai apa. Sebagai anak tidak, sebagai pekerja, apalagi. Dia memanggilku “Aa”, sedangkan aku bukan anaknya. Bukan kakak dari anaknya. Setidaknya kulit kami tegas-tegas menampiknya.
Bahkan, istri Pak Haji dan anak tunggal mereka, Pipin, memanggilku dengan sebutan yang sama. Pak Haji dan istrinya seolah merahasiakan alasannya, sedangkan Pipin mengikuti dengan patuh, mungkin karena orang tuanya menyuruh.
Sejak kecil aku dan Pipin memang tak terpisahkan. Karena dia dua tahun lebih muda dariku, tanpa direncana memang aku berposisi sebagai kakaknya. Saudara tua karena keadaan saja.
“Beres, Pin?” Aku menghampiri gulungan rafia di atas etalase alat-alat listrik.
Pipin masih memenceti kalkulator menghitung jumlah angka yang mesti dia tuliskan di nota. “Tripleksnya satu, ya, A?”
Aku meraih rafia, mengulurnya, mengira-ngira berapa panjang yang aku butuhkan. “Iya. Yang tebal.”