Rentetan kata penunjang tanya, berujung menghujam hati meremukkan asa. Ringan mulut bertanya, menyayat hati pendengarnya. Khalayak ramai berbincang nista, mencibir wanita yang sedang dirundung gundah gulana.
"Eh Laras, kamu kok belum hamil juga? Udah lama kan nikahnya? Cek sana, siapa tau emang kamu atau suami ada yang mandul."
Bising lantunan suara cibiran itu masih terus terngiang. Dalam keheningan malam, sesak tangisnya memecah sunyi, meneriakkan jutaan harapan pada sang ilahi. Siapa sangka, perjuangan Laras untuk bisa memiliki buah hati telah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan. Berpura-pura tegar, memasang telinga tebal serta senyuman palsu sudah menjadi makanan sehari-hari untuk menjawab cibiran para tetangga mengenai kondisinya yang belum juga diberikan keturunan.
Berbagai macam vitamin, obat, terapi, ramuan herbal dan berbagai macam saran lainnya telah ia lakoni. Ditengoknya Bima, suami Laras yang tengah tertidur pulas. Semenjak hasil pemeriksaan dokter kandungan setahun yang lalu mengatakan tidak ada masalah kesuburan dalam tubuh Bima, Laras semakin merasa bersalah karena dirinya lah yang ternyata mengidap penyakit kelainan hormon penyebab dirinya sulit hamil. Lelaki dua puuluh sembilan tahun itu terus berusaha menguatkan hati Laras dengan tidak mempercayai vonis dokter sepenuhnya. Mengucur bulir air mata di pipi Laras, teringat akan banyaknya cibiran orang-orang sekitar tentang dirinya yang tak kunjung hamil padahal sudah genap enam tahun menikah. ‘Tuhan.. dosa apa yang sudah ku lakukan sehingga nasibku jadi begini?’
Laras berada di ambang krisis kepercayaan diri. Diantara banyaknya perempuan sempurna bisa mendapat gelar seorang istri sekaligus ibu, mengapa Laras tidak termasuk salah satunya? Isak tangisnya kian menjadi, tanpa ia sadari ternyata sayup-sayup Bima membuka matanya dan melihat istrinya sedang bersimpuh pasrah diatas sajadah merah tepat pukul dua dini hari.
"Istriku.." ucap Bima lirih.
"Mas Bima, hmm.. maaf ya aku ganggu istirahat kamu.."
Diturunkan kedua kaki Bima dari atas tempat tidur dan segera menghampiri Laras. Bima memeluk Laras tanpa bertanya apa yang menyebabkan Laras menangis tersedu-sedu. Sudah pasti, hal yang sama lagi. Sebuah pelukan mendarat di tubuh Laras, kehangatannya ternyata mampu meredakan sedikit penat dalam hati Laras.
"Aku malu sama kamu mas, maaf sampai sekarang aku masih belum bisa kasih kamu keturunan.."
"Ras.. sudah.. percayalah.. Allah akan kasih amanahnya di waktu yang tepat. Kita terus berdo’a dan berusaha ya.. aku percaya kita bisa lewati ini semua sama-sama.."