“Besok senin, ya? Huft membosankan”
Aku menghembuskan nafas pasrah sambil merebahkan tubuh ke atas kasur, lalu mengambil
ponsel untuk menulis list pekerjaan apa saja yang akan aku lakukan besok, kemudian
mengirimkannya ke grup. Hal seperti ini memang sudah jadi budaya di perusahaan tempat ku
bekerja. Baru saja aku ingin menekan tombol send, tiba-tiba ada satu notifikasi instagram muncul
di layar ponsel ku.
Tring!
Bimo Dirgantara started following you.
HAH, INI SERIUS?!
Mataku terbelalak tak percaya. Posisi tubuhku yang semula rebahan refleks berubah, langsung
duduk tegak. “Aku pikir gak sampe harus follow-followan sosmed, duh gimana ini...” gumamku
pelan. Aku menepuk jidat, merasa bodoh sendiri. Tanpa pikir panjang, aku kembali menjatuhkan
tubuh ke kasur. Ponsel masih ku genggam di tangan kanan. Ada perasaan campur aduk antara
senang dan sedih yang bahkan aku sendiri sulit mengartikannya. Pandanganku melayang, menatap
langit-langit kamar dengan kosong.
Bisa menjalin komunikasi dan hubungan baik lagi dengan Bimo adalah hal yang paling aku
inginkan, anehnya hal yang dulunya sangat aku inginkan sekarang malah jadi biasa saja. Bahkan
aku sempat frustasi karena dia memutuskan komunikasi secara sepihak dan menjauhi ku.
Bagaimana tidak, Bimo adalah orang yang pertama kali aku hubungi ketika aku sedang sedih,
marah, terpuruk, semuanya, aku terlanjur menjadikannya sebagai orang terpenting di hidupku
setelah keluarga ku.
Tidak, kita tidak pacaran, aku tidak punya perasaan spesial terhadapnya, begitupun sebaliknya.
Kalian pasti tidak akan percaya dan menganggap alasanku klise “mana ada sih cewek sama cowok
bisa sahabatan, mustahil!”
Selama 4 tahun berteman dekat, sosok Bimo ini begitu berarti, sampai aku tidak sadar kalau
aku terlalu menggantungkan hidup ku padanya. Aku sungguh tidak berharap kita akan jadi
pasangan atau pacaran. Satu satunya alasan logis yang bisa aku pahami mungkin karena aku tidak
merasakan sosok seorang kakak dalam hidupku, jadi begitu mengenal dia semua kekurangan dan
kebutuhan batinku terpenuhi, rasa nyaman itu yang akhirnya membuat ku sulit untuk merelakan
kepergiannya. Mungkin itu penyebabnya kenapa aku sampai terobsesi padanya, bahkan sampai
mengemis untuk mempertahankan pertemanan kami.
Saat itu aku seperti kehilangan arah, dan untuk pertama kalinya memberanikan diri ke psikiater.
"Bipolar," kata dokter itu dengan lembut, "Kamu mungkin sedang mengalami episode depresi,
atau bisa jadi episode manik. Kedua hal ini adalah gejala dari gangguan bipolar."
Aku mengernyit. Apa itu? Kenapa terdengar begitu asing?
"Begini," lanjutnya, "Gangguan bipolar adalah kondisi yang mempengaruhi suasana hati
seseorang. Terkadang seseorang bisa merasa sangat tinggi, penuh energi, bahkan berlebihan,
seperti tidak bisa berhenti melakukan apapun—itu disebut episode manik. Tapi disisi lain, ada
saatnya dimana suasana hati bisa jatuh sangat dalam, bahkan membuat seseorang merasa tidak
berharga, terisolasi, dan sangat lelah. Ini adalah episode depresi. Yang harus kamu tahu, keduanya
bisa bergantian, datang begitu tiba-tiba, dan seringkali sangat membingungkan bagi yang
mengalaminya."
Ya, itu cukup menjawab keresahan ku selama ini. Aku selalu merasa begitu 'berbeda'—saat-saat
di mana aku bisa merasa sangat bahagia, energik, seakan dunia ini tidak ada habisnya, seakan
semuanya ada di ujung jari. Tapi itu hanya bertahan sebentar. Lalu, tiba-tiba semuanya bisa
berubah. Aku merasa seperti tenggelam, tidak bisa bergerak, seakan ada beban berat yang
mengurung dadaku. Aku merasa kehilangan arah, bahkan merasa tak layak untuk hidup. Rasanya
seperti aku berada di dalam ruangan yang gelap, dan setiap pintu yang aku coba buka justru
semakin menambah kesedihan. Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini, berlarut-larut dalam
kesedihan yang seakan tidak ada habisnya. Aku ingat kata dokter itu
"Proses penyembuhan itu memang tidak mudah. Kadang kamu perlu waktu untuk benar-benar
mengenali dirimu dan keadaanmu. Terapkan pola hidup yang sehat, jaga pola tidur, makan, dan
berolahraga. Jangan ragu untuk mencari dukungan dari orang-orang yang kamu percayai."
Ya, aku perlu mencoba untuk bangkit lagi. Sekecil apapun harapan itu, harus tetap ada.