Hujan turun deras malam ini, menutupi hiruk-pikuk kota Jakarta dengan ritme yang
menenangkan sekaligus mencekam. Aku baru saja keluar dari kantor, berjalan menuju halte,
berusaha menghindari genangan air yang semakin tinggi di trotoar. Semua orang terlihat tergesa-
gesa, namun aku merasa seperti satu-satunya yang benar-benar terlambat—baik secara fisik maupun emosional.
Dalam pikiranku, masih ada tumpukan pekerjaan yang belum selesai, percakapan dengan
editor yang menggantung, dan obrolan singkat dengan ibuku yang justru membuatku semakin
bingung dengan arah hidupku.
Bus datang dan berhenti tepat di depanku. Pintunya terbuka, tapi aku hanya berdiri di sana,
merenung. Beberapa orang masuk, namun aku tak juga bergerak. Hujan semakin deras, membasahi
jaketku, dan rasanya seolah-olah hujan itu bukan hanya menutupi kota, tapi juga pikiranku yang
kacau.
Tiba-tiba, sebuah suara keras memecah keheningan malam—teriakan seorang wanita, disusul
suara tabrakan. Aku menoleh dan melihat sebuah mobil melaju kencang, menghantam trotoar, lalu
berhenti setelah menabrak tiang lampu jalan.
Semua orang di sekitar berhenti. Wajah-wajah kebingungan dan ketakutan. Aku berlari
menuju kerumunan, mencoba melihat dengan jelas apa yang terjadi.
Di tengah kerumunan, seorang pria tergeletak di tanah. Tubuhnya tampak kaku, dan darah
mengalir dari luka di kepalanya. Ada kepanikan di mata orang-orang sekitar, tapi tak ada satu pun
yang cukup berani untuk bertindak.
Tiba-tiba, seorang perempuan melangkah maju dari kerumunan, membawa tas medis kecil di
tangannya. Dengan gerakan cepat dan tenang, ia meraih tangan pria itu, memeriksa pernapasannya,
lalu memastikan tubuhnya tetap dalam posisi yang benar.
“Ada yang tahu nomor ambulans?” teriaknya, suaranya penuh kewaspadaan.
Aku terdiam sejenak—bingung. Di tengah kepanikan, perempuan ini tampak begitu tenang,
seolah sudah terbiasa menangani situasi seperti ini. Aku segera mengeluarkan ponsel dan
menelepon ambulans, sementara dia masih berusaha menstabilkan pria yang terluka. Ia berbicara
dengan suara lembut dan tenang, meski tahu pria itu mungkin tak bisa mendengarnya.
Ketika ambulans akhirnya tiba, para paramedis langsung bergerak cepat menangani pria itu.
Perempuan itu mundur, menyeka wajahnya yang basah, antara karena hujan atau karena hal lain
yang tak bisa aku pastikan. Tangannya tampak cemas, meskipun dia berusaha
menyembunyikannya.
Mataku bertemu matanya. Dalam sekejap, ada sesuatu yang aneh—sebuah koneksi yang tak
bisa dijelaskan.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.
Aku tahu dia tidak terluka, tapi entah kenapa aku merasa harus bertanya. Seolah ada sesuatu
yang memanggilku untuk memastikan keadaannya.
Dia menoleh, tampak kaget sejenak, lalu tersenyum lemah.
“Ya, aku baik-baik saja. Cuma... aku takut dia tidak akan selamat.”
Aku mengangguk, merasa tertekan oleh apa yang baru saja kami alami. Ketika situasi mulai
mereda, kami berjalan menjauh dari kerumunan.
“Kamu tahu apa yang terjadi?” tanyanya.
Pertanyaannya terdengar seperti ingin mencari konfirmasi, bukan jawaban pasti.
Aku menggeleng. “Aku juga nggak tahu. Sepertinya pengemudinya kehilangan kendali...
mungkin karena hujan.”
Dia mengangguk pelan. Kemudian diam sesaat sebelum berkata, “Kita nggak bisa
mengendalikan semuanya, kan?” katanya perlahan, “Meskipun kita ingin bertindak, banyak hal
tetap berada di luar kendali kita.”
Aku terdiam mendengarnya. Ada kebenaran dalam kata-katanya.
Kami saling berpandangan sejenak, lalu berpisah dengan kata-kata yang tak sempat terucap.