Setelah tahu bahwa aku tidak diterima di Divisi Media Kreatif, aku semakin bingung
menentukan arah hidup dan karierku. Sebenarnya, penghasilan dan posisiku saat ini sudah cukup
stabil. Tapi, aku tidak ingin terus-menerus berada di zona nyaman. Aku ingin ada bab baru dalam
hidupku—sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup.
Kadang aku berpikir, ingin jadi penulis lepas saja. Bekerja secara hybrid, sambil membuka
bisnis kecil-kecilan. Tapi tabunganku belum cukup. Tentu saja aku belum berani mengambil risiko
sebesar itu. Orang tuaku sendiri justru tidak terlalu ambil pusing soal karier. Aneh memang, mereka malah
menyarankan hal lain. “Fokus cari jodoh aja, jangan kebanyakan mikirin kerja. Nanti nggak nikah-nikah.”
Begitu kata mereka. Entahlah. Aku hanya mencoba realistis. Meskipun aku bukan bagian dari sandwich generation,
aku tetap punya kewajiban mengirim uang setiap bulan dari gajiku. Perihal menikah? Ya, tentu
saja aku ingin. Ingin banget malah, punya teman hidup. Tapi... ah, nggak tahu deh. Kepala rasanya
langsung migrain tiap kali topik itu muncul.
Ting!
Notifikasi WhatsApp muncul di layar ponselku.
Mba Mira: Bi, lo mau nggak gue kenalin sama temen gue? Baik banget orangnya. Kerjaan
utamanya business development, side job-nya fotografer.
Aku mengernyit. Ini nggak salah? Mba Mira bisa baca pikiranku atau gimana? Baru juga aku
kepikiran soal jodoh, dia langsung kirim chat begini. Belum sempat aku balas, notifikasi lain
muncul.
Mba Mira: Tenang aja, bukan wibu kok.
Aku terkekeh pelan lalu membalas cepat. Orangnya kayak gimana, Mba? Ada LinkedIn-nya