“Puan Putri Adinda?”
Ucapan yang berbarengan dari dua dayang kudiamkan sementara. Aku menunggu mereka mengetuk pintu kamar. Sembari menunggu, aku duduk di kursi di depan meja rias yang telah kutata rapih.
Ujian pertamaku akan dimulai.
Ketukan terdengar. “Masuk, Puri dan Puti.”
Aku bergegas menuju pintu dan berjalan dengan langkah yang terburu-buru. Seharusnya ini cukup mengesankan keinginan untuk bertemu dengan keduanya. Aku menunggu mereka membuka kunci kamarku. Saat pintu terbuka dengan segera kupeluk keduanya.
“Pu-puan Putri!” seru keduanya bersamaan. Kedua dayang kembar ini memang sangat kompak. Bahkan sampai-sampai cara menahan badanku pun sama. Sama-sama doyong dengan satu kaki saja. Hanya saat tertentu saja mereka akan berbeda. Aku hanya bisa membedakan keduanya dari kebiasaan Puti yang membawa kain yang harus dikenakan saat bertemu bunda.
“Huh, hampir saja Puan Putri menjatuhkan kami berdua ke bawah sana! Kalau kami mati, nggak ada yang bisa ngurus puan lagi,” ini Puri, yang banyak mengeluh saat diberi tugas.
“Sebaik-baiknya kami sebagai Mentalist Angin tetap saja tidak merapal mantra terbang!” dan ini Puti, yang bisa tertawa dengan riang saat dicandai.
Aku melongok ke arah beranda. Mereka memang benar adanya. Lantai ini hanya memiliki pijakan sebesar lima orang dewasa. Tinggi menara ini juga kurang lebih setara dengan gedung sepuluh lantai. Tidak ada tangga untuk sampai ke tempat ini. Hanya mereka yang memiliki mantra Angin tertentu saja yang bisa sampai ke tempat ini.
“Maaf, tapi aku sudah lama tidak bertemu kalian.”
“Bukankah baru tadi pagi kami membersihkan kamar junjungan?” jawab keduanya kompak.
Aku senang keduanya menjawab kompak. Tapi rasanya ada sesuatu yang membuat mereka menjaga jarak. Apakah mereka masih curiga dengan alasan lupa ingatanku?
Aku melempar senyum tipis. “Bunda masih tidak mengijinkan kalian untuk lama-lama di kamarku ya?”
Keduanya tersenyum lalu menjawab bersamaan “Benar, Puan Putri,” dapat kulihat keduanya gemetaran dan melirik ke arah jam pasir yang diletakkan di atas kain merah. Ah rupanya ini penyebab mereka begitu menjaga jarak. Jam itu adalah pertanda waktu yang diizinkan oleh bunda untuk kedua dayang ini bertamu dan menyampaikan pesan.
Aku lantas memeluk mereka sekali lagi. Kegagalan mencapai ruang singgasana akan berujung pada hukuman. Tidak semua abdi siap dengan hukuman ibunda. Aku mendengar jelas suara emosi takut dari mereka.
Sebagai Vizmaster yang bisa menguasai kekuatan Keinginan, aku dapat mendengar getar keinginan dan suara emosi dari seseorang. Sedih, senang, atau marah terkait keinginan mereka terhadap sesuatu.
“Maaf, Puri dan Puti.”
Dari mereka jelas terdengar suara emosi khawatir. Aku yakin mereka khawatir hukuman dari bunda. “Harusnya aku tidak meminta itu pada bunda…” mereka balas memelukku dengan keheranan bercampur senang. Aku yakin mereka hanya tahu Adinda yang akan merajuk atau meminta mereka untuk kembali datang ke bunda. “Maaf telah merepotkan kalian dengan permintaanku.”
Keduanya terbata. Makin keras terdengar suara keheranan bercampur senang dari mereka.
Tapi tidak lama. Suara pasir yang berdesir di jam itu menyadarkan mereka. Segera ketakutan kembali menyandera suara mereka.
“Terima kasih atas perhatian Yang Mulia Puan Putri,” suara mereka sempat bergetar. Inilah bagian yang tidak menyenangkan dari penyamaran ini. Aku tidak bisa setenang adikku kalau tahu orang di dekatku disakiti. Lantas kulepas pelukanku agar mereka bisa bertugas.
Ah, mereka justru canggung karena tindakanku yag tiba-tiba melepas pelukan. Harus segera kubenarkan. “Silakan masuk, Puri dan Puti. Jalankanlah tugas kalian agar bunda senang.”
Kutuntun keduanya masuk ke dalam kamar. Langkah kaki keduanya tidak terdengar. Sungguh, aku yakin bunda sengaja menugaskan Mentalist Angin sebagai dayang karena ingin agar putrinya dalam kondisi tidak siap saat dikunjungi.
Aku yakin mereka akan melirik kamarku kiri dan kanan. Keraguan mereka terlalu telanjang buatku. Setelah mendengar nada lega mereka barulah aku berbisik “Kain merah…” dengan nada tajam. Aku yakin dua dayang ini melihat jelas ekspresi ketidaksukaanku pada kain itu. Keduanya saling pandang.
“Yang Mulia Puan Putri,” keduanya agak mewanti-wanti nada suara mereka. Cemas. “Apa Puan Putri masih tidak suka melihat penghakiman dari Yang Mulia Permaisuri?”
Aku terdiam lalu bertanya balik “Dan karenanya aku sengaja mengulur waktu pertemuan?”
Keduanya berdeguk dan mengangguk. Tapi aku yakin yang mereka ingin dengar bukanlah alasan melainkan kepastian.