Pintu gerbang dibuka. Kedua Kesatria terkejut mendapati seisi ruang singgasana dipenuhi kabut. Saking tebalnya, aku bahkan tidak bisa melihat lebih dari dua langkah di depan gerbang.
Dua Kesatria mencoba menghalau kabut yang masuk ke lorong. Tapi yang mereka dapati adalah kabut itu seakan menghindari mereka dan hanya mendekatiku.
“Masuk!”
Suara bunda. Ah, sudah berapa lama tak kudengar. Uh, air mata… jangan menetes. Perintah kedua ini harus segera kupatuhi. Bunda tidak terkenal sabar.
Dan belum ada selangkah, aku mendengar jeritan Puti dan Puri. Perut keduanya tiba-tiba dihantam keras oleh sebuah tiang es.
“Puri! Puti!”
Kedua dayang justru tersenyum padaku “Mohon Puan Putri segera bertemu Yang Mulia Permaisuri,” aku mendengar mereka merintih “Kami tidak apa-apa,” sebelum rubuh pingsan. Aku melihat pasir di jam pasir telah habis turun. Mereka telat… pantas saja bunda menghukum mereka.
Andai aku bukan Adinda, aku pasti sudah lari mendekati mereka. Tapi aku harus sadar tujuanku berada di sini.
Aku melangkah masuk dalam kabut. Dingin. Aku tahu Kekuatan Keinginan bisa menahan dingin ini. Tapi aku tidak bisa menggunakannya. Aku tidak boleh terlihat tahu. Adinda pasti tidak diajarkan cara mempertahankan diri.
Pun kalau aku mencoba mempertahankan diri, aku tak yakin bisa mengelak dari sergapan es yang cepat seperti barusan. Apalagi jarak pandang sekarang hanya setapak saja. Saat aku menyadari es itu menyerang, aku sudah mati. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah pasrah apalagi samar-samar kudengar suara kemarahan bergema di sekitar kabut ini.
“Bilakah dinda tahu mengapa Puti dan Puri diberi belas kasih bunda?”
“Keduanya telat.”
Suara bunda selalu terdengar dingin dan monoton. Entah berapa banyak yang salah paham akan keinginan beliau saat ayah masih ada. Bunda keras dan dingin tapi bukan berarti tidak memiliki rasa kasih sayang... seperti dahulu. Semoga rasa kasih sayang itu masih ada. Semoga...
“Mohon bunda memaafkan dinda. Tadi kami sempat tertahan sejenak karena dinda melamun. Bisakah dinda memohon bunda untuk mengampuni keduanya?”
Tidak ada balasan. Tapi dingin yang menusuk dan suara kemarahan berangsur hilang. Mungkinkah bunda sudah tenang?
…Hening lagi.
Aku merinding. Justru bunda yang marahnya reda lebih cepat biasanya menjadi pertanda akan adanya ledakan. Tenang Saravine, tenang. Jangan sampai rasa takut muncul di tiap langkahmu. Bisa jadi samaranmu terkuak karenanya.
Ah, suara kemarahan bunda menghilang total. Di tengah kabut ini aku sama sekali tidak bisa merasakan keberadaannya.
“Bunda?” tanyaku dengan ragu. AH, sial! Harusnya aku tidak bertanya dengan ragu.
“Anakku.”
Aku merasakan pipiku dingin. Lalu menghangat. Lalu dingin dan ngilu. Yang kusadari sekarang adalah kuku jari beliau menggores pipiku sampai berdarah. Bunda yang sekarang berada di belakangku ini terasa seperti peti es. Aku tidak bisa merasakan napas darinya padahal aku yakin sudah lebih dari lima hirupan napas beliau berdiri mencengkram pipiku. Jangan-jangan rasa takutku membius indra perasaku.
“Apa Dinda berhasil membuat bunda senang bermain seperti ini?”
Sekarang jari tengahnya yang turun menggores leherku. Tapi kali ini aku berhasil menyaring emosiku dan terdiam dengan senyum. Aku harusnya bersyukur bunda berada sedekat ini dan memelukku.
“Anakku…”
Rasanya aku sempat mendengar ada nada yang melemah dari beliau. Seperti ada beban berat yang terpanggul suaranya. Tapi… aku tidak tahu apa yang berat.
Ah, jari tengahnya tidak lagi menjejak leherku. Saking dinginnya aku merasa seperti disetrika besi panas. Tapi aku tidak boleh melemah kesakitan.
Aku berbalik. Lalu memeluknya dengan penuh senyum. Dingin. Masih belum jelas kulihat rupa beliau sekarang. Kabut yang sangat tebal masih menyembunyikan wujud bunda.
“Maafkan dinda yang terlambat.”