Aku terbangun di sebuah kamar. Badanku sakit kiri dan kanan serta dirongrong dingin yang begitu menusuk.
Dan ternyata memang hampir seluruh badan ini diperban. Aku sedang direbahkan di sebuah dipan. Bau tanaman dan tanah yang pekat menusukku.
Ini pasti balai pengobatan di menara ketiga. Kalau tidak salah, letak jendelanya sejajar dengan akar dari pohon merah tertinggi di bukit istana Erune. Ah, aku benar. Berarti bunda sudah menitahkan agar aku dirawat di sini. Syukurlah…
“Syukurlah Puan Putri sudah bangun,” dua suara lirih bersamaan ini…
Ternyata Puti dan Puri juga direbahkan di kasur di sampingku. Wajah Puti pucat bahkan bibir membiru. Tapi meski begitu ia masih bisa tersenyum.
Aku tidak bisa melihat wajah Puri yang berada di samping Puti. Tapi dapat kutebak kalau kondisi mereka berdua tidak jauh berbeda. Napas mereka terdengar lelah.
“Kami sangat bersyukur… kami takut kalau Puan Putri tidak lagi terbangun.”
Aku merasakan air mataku meleleh. Adikku beruntung memiliki mereka. Aku mengulurkan tangan. Yang segera disambut oleh Puti dengan gemetar. Cengkraman tangannya dipenuhi rasa syukur dan takut.
Puri yang berada di sampingnya segera beringsut pula sampai harus menindih Puti demi menjangkau tanganku. Tapi karena rasa sakit, keduanya sampai harus menitikkan air mata. Tangan keduanya juga dingin, es hitam bunda mungkin jadi penyebabnya.
“Maafkan kami… karena ulah kami Puan Putri sampai masuk bangsal ini.”
Aku bodoh. Dua pelayan sebaik ini sampai terluka karena ulahku. Aku harus lebih hati-hati dalam mengatakan sesuatu pada bunda.
“Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf karena telah membuat kalian terluka…”
Yang lebih penting sekarang… komandan brengsek itu. Dia yang membuatku dicurigai bunda!
“Harusnya kita bersegera menemui bunda.”
Mengapa aku tidak mendengar suara emosi pria itu saat berada dalam ruangan? Apakah kabut menumpulkan indraku? Atau jangan-jangan dia bisa menghilangkan keberadaannya? Kalau ia bisa, harusnya ia melamar menjadi pembunuh gelap daripada menjadi Kesatria.
“Kami juga salah, Puan Putri. Kami harusnya tidak curiga pada junjungan. Kecurigaan kami menghabiskan banyak waktu.”
Aah, jangan pikir lagi soal Arche! Di hadapanmu ini ada Puri dan Puti!
Aku mengencangkan genggamanku pada dua dayang. Aku tidak boleh egois. Guru mengajarkan padaku untuk mendengar keinginan orang lain lebih dahulu daripada orang lain. Kalau aku sampai melupakan kredo itu, tidak ada gunanya menjadi Vizmasta.
Keduanya makin terisak karena genggaman tanganku. Aku merasakan kebahagiaan bercampur lega dan aman dari mereka.
“Permisi,” sebuah suara perempuan tua memutus percakapanku. “Istrellia Efetheer datang berkunjung,” Aku menengok dan mendapati perempuan tua masuk ke ruangan. Berbaju putih dan rambutnya sudah putih beruban tapi masih terlihat beberapa rambut yang masih hitam. Ah, aku ingat corak mawar emas di baju itu. Puan Tabib Utama atau kadang disebut Maha Tabib. Penyembuh tertinggi Istana Erune.
Aku sama sekali tidak mendengar suaranya saat masuk. Hanya dua dayang di belakangnya saja yang suaranya terdengar tenang. Ah, sekarang saat mata kami bertatapan baru terdengar. Suara emosinya terdengar tenang seperti sungai mengalir.