“A-aku dulu dekat dengannya?”
Aku menengok pada Puri dan Puti. Keduanya mengangguk.
“Tapi… dia…” Dia mengintip dan langsung curiga padaku!
Tunggu! Benar juga! Kalau aku tidak berperilaku seperti Adinda yang dikenalnya, jelas saja dia akan curiga. Tapi seberapa dekat sih dia sampai harus securiga itu bahkan sampai mencurigaiku di depan bunda?
Aah tidak adil! Dia punya semua materi yang bisa diuji silang dengan kelakuan Adinda sesungguhnya, sementara aku hanya diberi wejangan ‘waspada Arche!’ dari guru.
Kalau saja aku tahu informasi ini, harusnya aku bisa mengadaptasi perilaku saat berhadapan dengan dia. Aku butuh informasi lebih banyak!
“Se-seberapa dekat?” aku menengok pada Puri dan Puti.
“Puan Putri dan komandan tidak pernah cerita apapun pada kami. Maka dari itu kami tadi memancing ingatan Puan Putri. Siapa tahu Puan Putri ingat dan bercerita pada kami,” mereka tidak tahu, bagaimana kalau dari Puan Tabib?
“Hmmm… tampaknya untuk yang satu ini hamba tidak akan memberi tahu. Hamba ingin Puan Putri menyadari sendiri kedekatan hubungan kalian.”
Oh tidak, dari cara berbicara Puan Tabib Utama sepertinya hubungan Adinda dengannya begitu dekat. Kemungkinan terburuk bisa jadi Adinda sudah dijodohkan dengannya. Demi sejuta badai keinginan! Semoga itu bukan kenyataan!
Aku harus mencari tahu!
Puri dan Puti masih tutup mulut selama perjalanan kembali ke menara teratas. Sungguh, ingin sekali kukelitiki mereka sampai mengaku. Aku yakin mereka pura-pura lagi. Aku terus mendesak tapi keduanya malah makin kukuh mengaku tidak tahu.
Baiklah, tebak-tebakan saja kalau begitu. “Kalau melihat komandan yang begitu yakin. Bisa saja kami sudah dijodohkan.”
Mata keduanya berbinar. Tapi tetap saja keduanya kembali bungkam. Reaksi barusan cukup jelas bagiku. Berarti kemungkinan terburuk memang hubungan keduanya sampai ke sana. Aku harus mengatur ulang strategi.
Sesampainya di kamarku, Puri dan Puti minta ijin undur diri lebih cepat karena esok pagi harus menyiapkan laporan lisan pada bunda.
Siang berganti jadi malam dengan cepat. Bulu unggas di luar jendela masih mengawasi. Aku hanya membaca perkamen berisi ujian lisan. Tapi Jumlah tumpukannya sampai setinggi satu lengan… tampaknya ini hukuman bagi Adinda.
Aku tidak bisa menjawab satupun pertanyaan di lembar ini. Bukan karena aku bodoh. Tapi seminggu lagi aku harus melawan Arche dalam debat.
Aku harus melakukan sesuatu! Tapi sekarang aku tidak bisa keluar dari sini.
Oh iya, aku masih bisa melakukan sesuatu.
Aku menutup jendela dan mematikan lentera. Di luar sana kulihat juga mendung. Semoga saja ada petir agar suara di dalam kamar ini tidak terdengar.
Aku mengaktifkan Kekuatan Keinginan. Aku ingin bisa melihat lebih baik dalam ruangan tiada cahaya. Setelah tiga detik mengambil napas, aku melihat ruangan dalam tiga warna; hitam, putih, dan abu-abu.
Di balik meja rias ini terdapat Rapier-ku. Pedang itu bisa kupakai untuk memanggil guru. Aku butuh penjelasan dari beliau. Banyak penjelasan…
Konsentrasi, Saravine. Bayangkan dan kuatkan keinginan bagi tanganmu untuk menembus cermin ini. Perlahan kulihat kulitku menghitam. Bagus. Konsentrasi lebih kuat lagi. Aku menjulurkan tangan, kubayangkan cermin ini hanyalah sebuah riak air yang ingin kutembus. Di baliknya terdapat Rapier.
Rapier di belakang cermin berhasil keluar dari cermin dan kugenggam erat. Sarungnya kulepas dan kupandang bilah pedangnya. Di tengah ketiadaan cahaya, masih kulihat kilau tipisnya yang ingin berontak pada dunia.
Syukurlah bilah Rapier ini masih tajam terasa. Semoga saja tidak ada kejadian yang membuatnya harus digunakan sebagai senjata.
Aku mengekstensikan keinginanku ke Rapier ini. Perlahan warnanya juga turut menghitam.
Sekarang yang harus kulakukan adalah memanggil beliau. Aku menjeritkan keinginan yang berasal dari dalam hati. Aku merasa setiap kudukku menegang karena menahan derasnya Kekuatan Keinginan yang hendak melejit dari tiap pori-pori kulit. Gagang Rapier kupegang dua tangan dan kutancapkan ke lantai kamar. Ini adalah cara kami, Vizmasta, untuk mencari rekan seperjuangan.
Sekarang kubayangkan suara jeritan itu menyebar seperti riak air. Di ujung jangkauan, riak air itu menabrak dinding kasat mata dan merangkak naik lalu membentuk sebuah kubah besar. Dari kubah besar, kugandakan jeritanku dan memutar satu bagian dari kubah ke bawah menjadi sebuah bola. Aku hanya mampu membuat bola yang ukurannya sampai ke ruang singgasana. Tiga kali kuulang sampai akhirnya aku mendengar ada suara yang berbalik padaku. Aneh, ada dua suara? Oh, satu lagi menghilang dengan cepat.
Satu suara yang masih ada mendekatiku dengan sangat cepat. Lalu menghilang tiba-tiba. Aku mencabut Rapier dan menyilangkannya di depan muka. Aku tidak lagi menjeritkan keinginan melainkan membisikkan keinginan. Bisik itu menyebar sejauh ruangan ini saja. Aku bisa memindai seisi ruangan ini andaikata ada yang mendekat.
Nah, sekarang darimana Vizmasta asing itu akan masuk? Kiri, kanan, atas atau--