Benar saja. Aku telat bangun pagi. Rasanya badan ini benar-benar remuk. Kepala juga pusing. Aku masih ingat mimpi Arche mengejar dan menangkap tanganku. Berulang kali ia mengatakanku palsu. Bunda sampai menangis lalu menikamku berkali-kali dengan tangannya sendiri. Es hitam membekukanku. Aku beruntung bisa terbangun karena cahaya api yang hangat.
Rupanya aku tertidur di meja dekat jendela. Aku tidak lagi duduk di kursi… lebih tepatnya kursi itu tertendang. Pasti karena mimpi buruk itu.
Terima kasih lilin kecil. Kau telah menemaniku semalaman tanpa suara. Sekarang istirahatlah. Nyawamu hanya tinggal sedikit.
Ah, bulu unggas banyak yang memasuki kamar. Pantas saja aku jadi mimpi buruk. Aku membakar bulu itu satu persatu dengan bantuan lentera dekat jendela. Melakukan ini membuatku sedikit tenang. Setidaknya aku bisa membayangkan Arche yang terganggu di lain tempat.
Aku mendengar emosi yang sangat senang mendekat. Dua orang. Harusnya Puri dan Puti. Tapi mengapa keduanya datang dengan amat senang?
Aku mendengar ketukan pintu. Suaranya lebih keras dari biasanya.
Keduanya masuk tanpa persetujuanku dan langsung tersenyum senang “Puan Putri,” secara bersamaan. Oh tidak, mereka bisa kena bahaya kalau kelakuan mereka seperti ini.
"Masuk."
Kulihat keduanya tertegun. Aku harus menjelaskan pada keduanya...
“Ya ampun kalian ini,” aku lantas melirikkan mata ke arah jendela. Keduanya memahami maksudku. Bulu unggas yang masih berada di luar masih bisa memata-matai kejadian di kamar ini.
“Terima kasih Yang Mulia Puan Putri telah mengijinkan kami masuk,” jawab keduanya sambil menjura hormat. Sangat tidak lucu kalau perilaku bebas mereka justru dilaporkan pengintip.
Ah, keduanya datang tanpa membawa kain. Oh, apakah karena mereka telah mendapat mandat dari bunda?
“Yang Mulia Permaisuri mengijinkan kami untuk bermain bersama Puan Putri seharian ini,” ujar Puti dengan lembut.
“Kata beliau, Puan Putri juga tidak perlu bertatap muka hari ini. Istirahat dan senang-senang saja,” kalimat Puri ini agak meragukan. Bunda tidak akan berkata seperti itu... tapi aku yakin ia bisa menerjemahkan minim cakapnya bunda.
“Ah, Puan Putri tidak tidur di kasur?” tanya Puri. Rupanya ia melihat kasur masih rapih. Ia melihat ke arah lilin dan meja. Aku tidak mau berbohong padanya.
“Aku… tidak bisa tidur tadi malam. Banyak pikiran,” Aku tak menyangka keduanya akan lemas mendengarnya. “Ah maaf, aku tidak seharusnya membuat kalian khawatir. Kalian tahu, masalah kesaksian pada bunda dan komandan Arche,” aku menunduk. Kalau mereka tahu aku juga mimpi buruk…
“Tenang saja! Puan Putri sudah mendapatkan kesaksian dari kami berdua! Kami adalah dayang pribadi Puan Putri. Tidak ada yang lebih dekat dari kami selain Yang Mulia Puan Permaisuri,” aku bersyukur mendengarnya. Sudah ada dua sekutu dekat yang bisa kupegang.
“Nah, kalau begitu, saatnya kita keluar, Puan Putri?” seru Puti. Ia mengitariku dan hampir saja berlari keluar kamar kalau tidak dicegah oleh Puri.
“Sebentar! Kamu itu dayang Puan Putri, jangan lupa tugasmu dulu sebelum keluar dari kamar ini,” Terima kasih telah mengingatkan saudarimu, Puri. Lagi-lagi aku tidak mau kalian terkena masalah karena pengintip.
“Iya-iya… aku tahu.”
Aku menutup tirai secukupnya. Setidaknya sinar matahari masih bisa masuk dan kamar tidak remang. Harusnya sih tidak mencurigakan bagi pengintip di luar. Lagipula, aktivitasku juga sedang bersama kedua dayang Adinda.
"Sekarang harusnya tidak ada lagi pengintip."
Puri dan Puti memelukku. Puti sangat riang sementara Puri sangat senang.
“Aku senang melihat kalian bisa bebas bertindak di sini. Harusnya memang begini suasana pertemanan,”
Mereka berdua saling bertatap mata. Kudengar binar harap dari keduanya. Mereka ingin aku mengucap sesuatu.
“Kami… tidak bisa seenaknya menyebut Puan Putri sebagai teman.”
“Setidaknya saat bersamaku saja.”