“Kalian kurang ajar--”
Aku mengangkat tangan, menghentikan ucapan Puri dan Puti.
“Puri, Puti. Tidak apa-apa. Mereka berhak mengucapkan itu padaku. Saat ini aku dicurigai oleh komandan mereka dan harus diawasi.”
Aku berjalan melewati kedua kesatria. “Kalian ditugaskan untuk menjagaku, kan. Kenapa tidak berjalan di depan?”
“Kami ingin berjaga kalau-kalau penipu ini hendak kabur.”
Ini pertama kalinya aku mendengar suara emosi kemarahan yang begitu dahsyat dari Puri dan Puti. Aku pun ingin menampar kedua Kesatria tak tahu adat ini. Kalau saja diijinkan dan kalau saja aku tidak menyamar.
Kami berjalan melewati jembatan penghubung, jauh dari pandangan dua Kesatria penjaga pintu. Ah, dasar Kesatria dari komandan tidak tahu diri… berani-beraninya menyuarakan birahi pada perempuan yang mereka kawal.
“Kalian berjalan di belakang bukan karena ingin melihat punggung kami, bukan?”
Puri dan Puti lantas jengah dan menutupi punggungnya dengan kain. “Kesatria Bejat!” ungkap mereka dengan keras sampai suaranya bergaung di lorong. Dan tentu saja, aku memanfaatkan situasi ini dengan memantulkan suara keduanya lebih jauh lagi sampai ke telinga dua Kesatria penjaga pintu menara terakhir. Aku yakin mereka mendengar.
Kalau pun keduanya tidak datang, aku yakin aku bisa menggunakan pengakuan dua kesatria itu.
“Tidak terbersit dalam pikiran kami,” alibi. Aku bisa mendengar suara kebohongan kalian yang begitu kencang.
“Huh! Kalian jadi Kesatria tapi mesum! Kalau berani jalan di depan seperti pria!” provokasi yang bagus, Puri. Aku menunggu respon mereka untuk mengenali bagaimana satuan Kesatria dari komandan pengintip itu.
“Apa katamu?! Jadi dayang saja sombong!” respon yang bagus Kesatria tidak tahu diri.
“Kami tidak akan begini kalau kalian tidak menghina Puan Putri!”
“Memangnya kalian benar-benar yakin sedang mengabdi pada Junjungan sesungguhnya?!”
“Yakin! Jangan sok tahu kalian! Tukang gosip lebih baik diam saja dan patuh!” Bahkan Puti yang biasanya berbisik lembut juga ikut mengamuk. Adalah tugasku untuk menegur keduanya agar tidak sampai melempar Mantra pada dua cecunguk ini. Yang kubutuhkan sekarang adalah adanya bukti dua Kesatria ini memang tidak tahu adat.
Tentu saja setelahnya terjadi perang mulut di antara keduanya. Suara mereka masih kusampaikan ke penjaga gerbang menara terakhir. Ah, tapi semakin lama langkah kami semakin mendekati ruang singgasana. Baiknya kulempar suara ini ke arah Kesatria penjaga gerbang di sana.
Oh, ini pertama kalinya kulihat gerbang ruang singgasana terbuka begitu lebar. Kudengar gerbang ini akan terbuka lebar bila ada rapat penting untuk memutuskan masalah kenegaraan yang penting seperti membahas pajak rakyat atau kemungkinan perang. Dari jauh pun sudah kudengar diskusi dan emosi yang begitu bersikukuh.