“Tak kusangka kita bertemu di sini, komandan Arche.”
Aku mencoba menyapa si komandan dengan halus. Tentu saja lengkap dengan senyum 'tulus'.
Ia berjalan mendekatiku dan membalas senyumku juga.
“Kebetulan latihan mengendara angin kami baru saja selesai, Puan Putri,” sungguh, aku dapat jelas mendengar nada suaranya yang sangat percaya diri. Tapi tidak kudengar adanya suara emosi lain.
Aku menoleh pada dua Kesatria tak tahu adat di belakangku.
“Oh, dan mengapa mereka berdua tidak ikut?”
“Mereka masih baru.”
“Anda menyerahkan pengawasanku pada kesatria baru?”
“Ya. Mereka harus belajar bagaimana mengawal orang penting yang halus diri.”
Cakap lidahnya luar biasa. Jadi begitu cara Kesatria satuannya mengawal? Menghina dan merendahkan orang yang mereka lindungi itu jelas cara yang sangat unik. Ah, sungguh, aku jadi kesal memikirkannya.
“Aku lebih percaya pada Puri dan Puti dibanding dua kesatria awam. Mereka lebih tahu kehalusan menghadapi perempuan,” aku menekankan pada kata kehalusan. Harusnya itu yang diajarkan pada kesatuan Kesatria; cara menghadapi ragam manusia. Tidak semua bisa diperlakukan seenaknya.
“Kalaulah memang Puan Putri kurang puas dengan kelakuan mereka, Puan Putri bisa mengingatkan,” oh, aku melihat lirikan itu dan suara lega dari dua kesatria kurang ajar barusan. Kalimat itu bagi mereka terdengar seperti kesalahanku karena tidak menegur.
“Rasanya aku cukup tahu bagaimana kelakuan dua Kesatria awam yang tidak mengenal posisi. Dan yang bisa mengatur mereka bukanlah cakap bicara seorang putri tapi disiplin dari komandannya. Atau mungkin saja, komandannya justru yang harus diajar tata krama terlebih dahulu. Aku bisa meminta pada bunda untuk memberikan komandan tersebut pelatihan khusus.”
Suara emosi dua kesatria itu meninggi. Mereka menunggu respon dari komandan mereka yang lama terdiam. Ayo, mengaku kalah sajalah.
“Yang Mulia Puan Putri benar. Hamba akan mendidik mereka lebih baik lagi setelah ini,” ck… mengapa aku justru merasa kalah mendengar ini… tapi tekan lagi saja.