Siapa yang menyangka kalau perjalanan menuju menara ketiga akan menyenangkan. Ya… aku harusnya tidak menggunakan kata itu. Komandan satu ini cukup asyik diajak ngobrol, mirip dengan teman masa kecilku.
Tapi tetap saja aku harus waspada. Betapa tidak, sudah beberapa kali lidah Puti dan Puri meluncurkan kalimat semacam “Iya, Puan Putri yang sekarang lebih susah tidur sepertinya,” dari Puti.
Atau semacam kalimat “Dan masih belum terbiasa dipakaikan gaun oleh kami!” dari Puri.
Entah sudah kali keberapa kusebut “Puri… Puti…” untuk mencegah mereka sesumbar terlalu banyak. Bisa-bisa tingkat curiga komandan satu ini melejit ke bulan.
Di luar sesumbar itu, aku menikmati cara si komandan menjelaskan ruangan yang kami lewati. Misalnya saja, saat menjelaskan ruang tunggu setelah ruang singgasana. Ia menceritakan betapa banyaknya tamu istana yang saking takutnya menunggu sampai buang air di celana. Dan ia pun juga sesumbar kalau pertama kali menunggu di ruangan ini juga sempat ngompol. Setelah diusut, kabarnya dingin dan ucapan tajam bunda seakan tak kenal dinding. Dan karenanya, ruang tunggu itu sekarang memiliki bilik kakus. Kabarnya peletakan itu sampai mengubah trend arsitektur ruangan di kota-kota dekat Istana Erune.
Jujur saja, aku senang informasi baru ini. Istana Erune dahulu berbeda dari yang kukenal. Dahulu tampak lebih cerah dan lebih… gembira. Aku tidak yakin itu kata yang tepat. Tapi pastinya banyak yang berubah. Aku butuh penjelasan dan tidak mungkin kutanya dengan cepat walau beralibi ‘lupa ingatan’.
Aku juga senang saat ia menceritakan bahwa dapur awalnya tidak berada sedekat ini dengan singgasana. Tapi karena udara dingin suka menembus dinding, para Maha Tabib meminta agar ruang penyimpanan makanan dan dapur dipindahkan ke dekat ruang singgasana agar bahan makanan bisa tetap segar.
Aku sangat-sangat tidak percaya sampai harus menyebut “Bohong!” padanya. Dan si komandan pengintip itu justru tertawa.
“Ada alasan lain juga sebenarnya. Banyak tamu di ruang sebelah yang kelaparan menunggu. Jadi koki dapur meminta pada Yang Mulia Puan Permaisuri agar dapur didekatkan untuk membantu tamu,” Ini aku percaya. Bunda pasti mau mendengar “Tapi perdebatannya keras. Sampai akhirnya beliau luluh karena kadang kala beliau juga butuh makanan ringan saat bekerja. Dan memang benar, setelah dapur ini didekatkan, jumlah korban beliau menurun.”
Aku mencium bau harum dari dapur “Dan aku yakin selera makan bunda juga meningkat,” balasku dengan senyum yang sangat lebar.
“Tentu saja. Kepala koki sampai senang karena biasanya beliau menolak makan kalau makanan sudah mulai dingin,” ah ya, aku ingat itu. Ibunda seringkali menyuap makanan saat menerima. Hanya dua tiga suap lalu menyuapi aku dan Adinda bergantian. Kami biasa makan sampai habis. Setelah itu bunda akan menggendong kami berjalan di taman bawah menara keempat bersama ayahanda sambil menikmati matahari senja tenggelam.
Masa lalu yang indah…
“Puan Putri, mengapa menangis?”
Ah, si-sial… mengapa harus air mata ini turun sekarang. Alasan-alasan, ayo datanglah. Jangan sampai Puri dan Puti Adinda curiga sesuatu.
“Aku senang karena bunda bisa makan dengan lebih baik,” ah… apakah alasanku ini diterima? Aku melihat si komandan tersenyum.
“Tentu saja,” ucapan itu, andai saja kudengar suara emosinya, barangkali bisa membuatku tenang. Dan entah kenapa, senyum itu malah membuatku tidak nyaman. Bagiku ia terlihat seperti menyeringai.
Jujur saja, aku tidak tahu apakah Adinda juga akan menangis bila memori masa lalu menghantamnya. Tapi… rasanya sedih bila ia ternyata tidak bisa menangis karenanya.
Aku beruntung topik tadi bisa dilewatkan begitu saja. Setelah dapur masih ada beberapa ruang seperti perpustakaan yang bersebelahan dengan ruang literasi unggul untuk menulis dokumen di perkamen. Andai saja tujuan kami bukan mengambil lilin, barangkali aku sudah meminta Puri dan Puti masuk ke ruang ini. Harusnya banyak dokumentasi sejarah di tempat ini.