Aku tak berani mengonfirmasi rencananya. Rasanya kalau aku bertanya akan mengundang kecurigaan. Rasanya Adinda tidak akan curiga bila tiba-tiba diperlakukan aneh seperti barusan.
Yang harus kulakukan sekarang adalah tetap waspada pada si komandan. Dan, tetap berperilaku seperti Adinda yang kuketahui sampai kami sampai di menara tujuan, menara kedua.
Kami melanjutkan perjalanan setelah berhenti cukup lama di dapur. Setelah dapur kami akan sampai di menara ketiga. Menara tengah. Aku suka lupa kalau jumlah menara utama di istana ini berjumlah enam buah.
Susunan menara dihitung dari yang terbawah lalu sampai di menara terakhir, menara ke enam, kamar Adinda dipingit. Di menara terakhir memang tidak ada apa-apa tapi paling dijaga. Itu yang kutahu, menara kelima adalah tempat segala urusan kenegaraan. Menara paling besar dan juga memiliki labirin. Sempat kulihat pintu masuknya tadi di antara jembatan menuju menara kelima dan keempat.
Menara keempat adalah penyokong kehidupan di menara kelima. Ukurannya kedua terbesar. Dahulu sebelum ayahanda almarhum, menara ini adalah tempat bermainku dan Adinda. Kami tidak boleh keluar dari sini. Pada masa itu ibunda biasa menemani dan selalu saja berhasil menemukan kami berdua dalam permainan petak umpet.
Menara ketiga adalah gudang banyak fungsi. Termasuk di antaranya balai pengobatan dan gudang peristirahatan beberapa Kesatria. Menara pertama dan kedua berhubungan dengan pertahanan dan ketahanan menara.
Rasanya semenjak kecil aku belum pernah diajak jalan-jalan di tiga menara pertama. Aku selalu diajak turun ke luar istanaa melalui katrol besar menara keempat. Ibunda dan ayahanda tidak mengijinkan aku turun melalui tangga menara kelima.
Selama menuju menara tengah, aku terdiam saja. Arche dan Puri serta Puti juga ikut diam. Sampai akhirnya ia buka suara begitu kami sampai di depan balai pengobatan di lantai teratas menara ketiga.
“Ah ruangan di mana kita bertemu pertama kali, Puan Putri,” aku tidak menyangkal fakta itu. Tapi aku juga jadi bertanya apakah jangan-jangan kalimatnya itu juga menyinggung pertemuan pertama Adinda dengannya.
“Benarkah?”
Harusnya tidak kutanya tapi aku yakin Adinda akan tertarik. Menjadi orang lain itu sangat tidak menyenangkan. Semoga setidaknya aku terdengar jelas tidak suka padanya.
Tapi si komandan justru tidak menjawab. Aku menengok Puri dan Puti, berharap ada sedikit konfirmasi. Tapi mereka juga justru bertanya padaku apa memang dahulu pernah bertemu. Akhirnya kembali alibi hilang ingatanku berbicara.
Yang pasti, setelah beralibi, senyum si komandan menghilang dan ia kembali terdiam. Memang rasanya aku lebih baik fokus pada pemandangan sekeliling saja.
Dari tempat ini, kami bisa turun menggunakan tangga melingkar menuju menara kedua atau langsung jalan lurus menuju menara pertama. Aku baru tahu kalau menara pertama langsung terhubung dengan menara ketiga. Mungkin untuk memudahkan pengangkutan Kesatria terluka ke balai pengobatan atau memudahkan pergerakan kesatria yang tinggal di barak satu lantai di bawah balai pengobatan.
Tapi barak kesatria di menara ini berbeda. Isinya adalah satuan dari Kesatria Zirah Hitam yang tugasnya jelas mengawal dan mengawasi seisi istana. Sesekali kulihat mereka berseliweran atau mengantri di balai pengobatan meminta jamu tahan kantuk.
“Seperti yang Puan Putri ketahui, Menara ketiga adalah tempat pengobatan. Dahulu--”
“Ya, aku tahu, pada masa pemberontakan Patih Daksyanda, lokasinya berada di menara pertama sebagai titik pusat pengobatan. Dan sekarang diletakkan di tengah karena lebih banyak yang terluka dalam istana.”
Secara halus, ini adalah sejarah di mana bunda lebih banyak melukai abdi dalam istana dibandingkan melukai orang luar.
“Ingatan Puan Putri menarik ya…” Ah, sial. Dia curiga sesuatu? “Puan hanya ingat hal tertentu saja.”
“Aku sempat mencuri dengar pembicaraan saat pertama kali lewat tempat ini,” bukan elakan yang sempurna. Semoga dia mau menelan alibi itu.