Lorong di menara ini gelap dan sempit. Satu hardikan keras dari tempat ini akan dapat terdengar jelas oleh hampir satu menara. Dan di sinilah aku mengungkapkan kekesalanku.
“Komandan Arche! Aku bisa mentolerir kelakuan anda padaku. Aku kesal tapi aku sadar kita berdua sama-sama harus saling membuktikan diri di sidang.” “Akan tetapi, aku tidak suka saat anda melecehkan kelas atau abdi yang lain.”
“Kelakuan hamba yang mana kah?”
Ini orang… malah justru menantang balik. Sambil mengangkat dagu pula. Kalau ia melakukan itu pada bunda, bisa-bisa kepalanya dibuat selalu menunduk.
“Yang ini,” ujarku seraya meniru kelakuannya menepis debu barusan. “Anda melakukannya setelah bersinggungan dengan kesatria zirah coklat tadi. Jangan bilang anda tidak tahu arti tindakan tersebut,” ya harusnya dia tahu. Sikap tangan tersebut adalah tanda bahwa yang baru saja disentuhnya adalah hal menjijikkan yang harus dibuang.
“Hamba melakukan itu semua untuk menguji Puan Putri.”
“Dan karenanya mendapatkan bukti aku ini asli?”
“Pal--”
“Anda tahu tuan Arche, aku merasa apa yang anda lakukan itu aneh.”
Ia tampak… terkesan karena aku memotongnya. Ah sial, apa lagi-lagi aku melupakan ini Adinda!