Apa yang terjadi pada bunda? Aku terburu-buru mendekati tabib utama. Begitu sampai di hadapannya, beliau langsung meraba wajahku dan menatapku lama.
“Kamu tidak apa-apa ke gudang menara ketiga?”
Aku terheran. Lantas kulirik Puti dan Puri, keduanya langsung membuang pandangan. Tapi kudengar suara emosi bersalah dari mereka.
“Ada yang salahkah, Puan Tabib?”
Ia terdiam sebentar. “Yang Mulia Puan Permaisuri memintaku untuk memanggil Puan Putri. Silakan segera ke ruang singgasana,” ujarnya dengan suara yang datar. Rasanya terdengar suara penyesalan darinya.
“Hamba siap menemani,” Sekarang kudengar nada jumawa si komandan. Justru suara rasa bersalah yang kudengar dari Puti dan Puri mengeras.
Jangan-jangan… ada pengalaman menyakitkan bagi Adinda di menara ketiga?
Mungkinkah… itu sebabnya mengapa para Kesatria di sana menangis saat aku membela mereka? Apakah jangan-jangan adanya jembatan dan segala macam akses menuju ke sana adalah karena sebuah kejadian yang melibatkan Adinda?
Setiap langkah menuju menara kelima membuatku semakin berdebar. Beruntunglah aku masih bisa tersenyum dan menanggapi peristiwa tersebut dengan bercanda bersama Puti dan Puri. Keduanya masih terlihat canggung dan begitu kutekan mereka malah tidak mau berkata-kata.
Pun akhirnya keduanya menjawab “Ka-kami akan menunggu putusan Yang Mulia Permaisuri saja.”
Jawaban keduanya meyakinkanku bahwa aku baru saja melakukan kesalahan fatal. Tidak, tenang-tenang, Saravine. Aku masih punya alibi lupa ingatan. Lagipula, bisa jadi mereka sengaja menakut-nakutiku.
Tak kusadari kalau kami sudah sampai di depan ruang singgasana. Entah bagaimana wajahku selama perjalanan… semoga mereka tidak mencurigaiku lebih jauh.