Sembunyinya Keinginan

Rendi Datriansyah
Chapter #17

Chapter 17 - Pertanyaan Pengusik Hati

Aku menatap senja dengan pandangan kosong. Pelukan hangat kedua dayang tadi menyentil nuraniku. Tangan Adinda yang putih ini palsu. Suara manis manja ini palsu. Seberapa banyak kepalsuan yang harus kuberikan demi mencapai tujuan utamaku? Dan apakah tujuan itu mulia?

Aku sadar keegoisanku. Aku bersemangat karena ingin sekali bertemu bunda. Tapi harga yang harus kubayar adalah kepercayaan… dan itu bukan sesuatu yang bisa kuombang-ambingkan. Aku menutup mata. Berharap kegelapan malam segera tiba dan bisa segera kubasuh dengan tidur yang nyenyak.

Aku ingin lupa… ah, aku tidak boleh berharap seperti itu. Sebagai Vizmasta, keinginan dan harapanku adalah senjata dan alat. Aku bisa melupakan semua kekalutan ini. Tapi menghilangkan kekalutan itu artinya berlari dari ketulusan mereka.

Ya, aku harus menyandang beban ini. Aku harus membawanya sampai misi ini selesai. Aku harus menggendong rasa bersalah ini dan menjadikkannya sebagai asa penggerak.

Ruangan mendadak gelap dan abu-abu. Ah, guru datang. Aku bersegera bangun dari kursiku. Tanpa mengambil Rapier aku berlutut.

Langit-langit sekarang terbelah. Ah… mungkinkah guru marah karena menyadari aku yang berpikir buruk sedari tadi. Payung Kedap Suara dan Cahaya terbentuk di tengah ruangan, tiga langkah di belakangku.

“Syukurlah, muridku… kamu bisa menghadapi benturan keinginanmu sendiri,” syukurlah ternyata tidak.

Aku melihat tanganku. Bila saja benturan keinginan terlalu kuat, warna kulit ini akan menghitam dan membatu dengan sendirinya. Dan dari hitam itu akan muncul sisik pelangi. Sisik yang tampak indah tapi hakikatnya ada sebagai pertanda keinginan seorang Vizmasta sudah berkonflik dan berbelok. Akibatnya bisa saja aku mati…

“Aku tahu galaunya hatimu karena tugas ini. Sedari dulu aku juga khawatir kenapa kamu yang dipilih untuk menjadi Vizmasta.”

Aku mengangkat kepala. Guru tidak pernah berbicara seperti ini. Beliau selalu berusaha mengalihkan pembicaraan begitu aku mulai mengangkat topik pemilihan ‘mengapa aku bukan Adinda’.

Aku berdeguk keras.

“Bolehkah murid tahu alasannya?”

Guru terdiam. Cukup lama. Tapi aku terus menatap wajah welas asihnya yang semakin lama semakin tak enakan. Akhirnya ia menghela napas.

“Baiklah.”

“Aku masih mengingat hari itu. Hari di mana ibumu sedang menidurkan kalian berdua di atas dipan layang di taman istana. Ia menjelaskan tentang kemungkinan prahara dalam istana setelah kematian ayahandamu.”

“Lalu ia bertanya padaku di antara kamu dan adikmu, mana yang lebih baik.”

Aku berdeguk. Apakah guruku yang memilih.

“Aku mengembalikan pertanyaan itu pada orang tuamu. Ibumu lebih berhak memilih. Ibumulah yang berkeinginan.”

Lihat selengkapnya