Sembunyinya Keinginan

Rendi Datriansyah
Chapter #19

Chapter 19 - Debat dan Ujicoba

Sebut saja aku udik. Yang kutahu, sistem transportasi vertikal biasanya mengandalkan Mantra, seperti yang dilakukan oleh Puti dan Puri untuk mengantarku turun dan naik. Tapi menaiki sebuah kapsul besi dan diturunkan dengan cepat adalah pertama bagiku.

“Ce-cepat sekali…” desisku. Menara sepuluh lantai bisa dicapai cepat hanya dalam sekali sentak napas. Kalau saja Puti tidak memberkahiku dengan Mantra Sidak Nyawa dari Aquarius barangkali aku akan sampai di bawah dengan terbatuk-batuk.

Kapsul ini… rasanya aku pernah melihatnya entah di mana. Sepertinya dulu salah satu asrama Vizmasta juga memiliki kapsul ini tapi digunakan untuk mengantar barang bukan manusia.

“Apakah Kerajaan Erune juga berdagang dengan Mekkanibard di Barat?” tanyaku.

…Agh, aku menggali kubur sendiri dengan mengucap itu. Sekarang tiga orang itu memandangiku dengan wajah heran. Mekkanibard itu jauh sekali di Barat. Perkamen belajar Adinda tak pernah menyebutkan satupun soal itu.

“Aku melihat emblemnya di situ. Rasanya kulihat kemarin di salah satu perkamen belajar.”

Semoga alibi emblem di dalam kapsul ini aman… semoga mereka tidak mengecek materi pelajaran Adinda.

“Puan Putri jadi sangat pelajar ya,” komentar Puri dan Puti. Kalimat pujian itu tampaknya sesuatu yang akan dicatat si komandan. Tapi ya sudahlah, terima saja.

Aku melangkah keluar dari kapsul. Sekarang setelah pintunya tertutup aku baru sadar kalau benda itu sebenarnya berbeda dari kapsul di asrama.

“Puan Putri tampaknya sangat tertarik pada kapsul itu.”

Tentu saja, karena sebelumnya aku diantar oleh guru dengan menggunakan tangga dari menara pertama. Memangnya dipandangi seperti penjahat yang digiring itu enak? Apalagi dulu aku hanya tahu bunda membawaku turun menggunakan Mantra.

“Aku penasaran mengapa tiap menara harus punya cara naik dan turun yang berbeda-beda,” komentarku.

“Iya juga, kenapa ya?” tanya Puri dan Puti bersamaan. Keduanya menengok ke arah si mesum.

“Identitas Menara. Aku yakin Puan Putri bisa menganalisis alasannya.”

Tantangan singkat itu kuabaikan. “Kalau tidak mau memberitahu ya tidak apa. Nanti kami tanya sama yang lebih baik hati dan pintar.”

Kulihat ia hanya tersenyum tipis saja. Sekilas kudengar ada suara ketidaknyamanan darinya. Apakah perbedaan transportasi ini penting sekali?

“Puan Putri yang harusnya tahu mengapa ini penting,” si komandan mesum itu suka sekali membuang misteri seenaknya. “Mari,” tambahnya. Puri dan Puti juga jadi penasaran tapi memilih untuk mengikuti saja langkah kaki komandan.

Selagi berjalan menuju pintu gerbang keluar menara, aku berpikir ulang tentang keseluruhan sifat naik-transportasi. Menara terakhir harus menggunakan Mantra. Menara Keempat seingatku memiliki tangga turun yang selalu berundak naik dan turun. Eskalator kalau tidak salah. Menara ketiga kemarin tangga turun ditambah kereta turun. Menara kelima, dekat ruang singgasana adalah menara turun cepat seperti ini. Mungkin memang harus seperti ini karena bunda sangat butuh kecepatan.

Gerbang menara kelima dijaga oleh dua Kesatria berzirah hitam. Sekilas figur mereka tidak sebesar yang menjaga pintu menara terakhir. Tapi dua palu besar yang disandang di bahu mereka pastinya tidak sembarang punya.

Keduanya membuka pintu dengan menghentakkan palu besar itu secara bergantian ke sebuah patok besi. Dentang suaranya membuatku takjub. Puri dan Puti menutup kedua kuping hanya aku dan komandan itu yang tampak tidak terganggu.

Begitu patok besi itu tertancap terdengar deru gemuruh pintu yang perlahan terbuka. Patok itu terjatuh di lantai begitu gerbang separuh terbuka. Dua Kesatria itu menangkap pintu yang perlahan mulai menutup dan mendorongnya agar terbuka utuh. Uh, lebih baik aku tidak bertanya soal apapun yang unik di sini. Makin kutanya, makin ada kesempatan si mesum meneror.

 Sekarang kulihat sebuah jalan berbatu yang seakan membelah dua halaman besar. Halaman di sebelah kanan hijau asri sementara halaman sebelah kiri merah merona. Ini pemandangan yang tidak kulihat dari jendela menara teratas. Seingatku juga, selagi kecil aku tidak pernah melihat pemandangan ini. Apakah memang saat aku kecil dulu bunda sangat selektif terhadap lokasi main aku dan Adinda?

Aku lagi-lagi menahan diri untuk bertanya. 

Tapi Puri dan Puti tampaknya juga heran akan halaman ini.

Kami berjalan di jalan berbatu. Tampak di kiri kanan sekarang kumpulan Kesatria yang terpisah oleh jalan berbatu ini.

Lihat selengkapnya