Sekarang di tangan kiriku tergenggam busur silang sementara tangan kananku tergenggam Rapier. Baru saja benda ini kupegang langsung terdengar suara kesombongan dari masing-masing kubu.
Aku mengoper posisi senjata di kanan dan kiri. Suara emosi mereka silih berganti dari kaget sampai mencari pembenaran agar kembali terdengar kesombongan.
“Tidak ada bedanya kan aku pegang di tangan kanan dan kiri?”
Kedua kubu lantas saling berkoar bahwa senjata mereka adalah yang terbaik untukku di posisi tertentu. Sehingga aku bisa menyimpulkan “Berarti benar tidak ada bedanya, kan? Mengapa jadi harus diributkan?”
Kedua kubu terdiam. Aku menunggu respon si komandan menyebalkan. Tapi ia justru terkikik pelan. Tampaknya ia sengaja mendiamkan. Entah karena ingin melihat dagelan atau karena ingin melihatku kelimpungan.
“Sama seperti kalian sekarang ini. Faktanya, kalian adalah tumpuan dari pertahanan dan keamanan kerajaan. Bukan saatnya kalian membedakan kiri dan kanan.”
Aku menggandeng tangan salah satu dari Kesatria zirah putih dan tangan dari Kesatria zirah hitam. Keduanya kutarik ringan sampai keduanya bertatapan. Selagi keduanya tak siap, aku membuat keduanya berjabat tangan.
Sungguh tak dapat kuduga suara hati keduanya langsung bergemuruh kencang. Apalagi melihat wajah yang bersalaman langsung tegang seperti itu. Pun kulihat kedua kubu di belakang mereka juga tampak penuh kesiapan bergerak.
“Apa kalian masih merasa harus bersitegang?” keduanya terdiam tapi tetap merasa jenggah “Tidakkah kalian melihat di mana kalian berdiri sekarang? Jalan berbatu ini adalah tempat di mana kalian berdua harusnya saling berjalan dan membantu. Bukan hanya saling memperindah masing-masing halaman.”
Kalau saja semua semudah ini harusnya dunia akan damai. Tapi ya… kalimatku barusan justru seperti menuai api ke dalam minyak. Bahkan kulihat kedua kesatria yang berjabat tangan itu justru mengeraskan genggaman tangannya seperti hendak menghancurkan genggaman rekan salamnya.
…Mungkin memang ada baiknya dua kubu ini dibiarkan sementara.
“Kalau kalian tidak setuju sekarang pun tidak apa-apa. Aku berterima kasih sekali kalian sudah mau berjabat tangan seperti sekarang. Semoga kelak aku bisa melihat kalian berdamai.”
Aku melepaskan tanganku dari telapak tangan mereka. “Sekarang bolehkah aku meminta salah satu instruktur untuk mengajariku cara menggunakan kedua senjata ini?”
Masing-masing dari dua kubu mengajukan instruktur mereka. Aku menyangka instrukturku dari pihak Kesatria zirah putih adalah si komandan mesum satu itu tapi ternyata ia hanya mengamati dan mencatat. Puri dan Puti tampak mengamatiku dengan cemas.
Eh? Apa ini? Ada suara ancaman kencang dari atas!
Aku menoleh ke arah menara kelima. Di salah satu jendela kulihat para Maha Patih mengamatiku. Aku tidak bisa melihat ekspresi mereka dari sini tapi suara hati mereka yang antagonistik sampai terdengar ke sini. Sungguh perkara yang tidak mengenakkan.
“Ada apa Puan Putri?”
“Oh, tidak apa-apa. Aku hanya menengok karena ada angin dari atas tadi.”