Aku tahu bulu Merak ini tajam. Bulu Merak biasa tidak akan memantulkan cahaya dari Jamur Cahaya di langit-langit. Dan aku tahu ia juga serius mengancamku.
“Apa anda sedang bercanda, komandan Arche?” aku mencoba menahan diri agar suaraku tidak terdengar dingin.
Ia justru tersenyum. Sungguh, aku yakin Puri dan Puti akan kesengsem di tempat kalau melihat senyumnya sekarang. Tapi yang kulihat justru wajah seorang bandit.
“Seperti yang hamba bilang barusan, kita sudahi saja permainan ini--”
“Anda masih menggunakan hamba. Masih ada kepatuhan padaku. Aku tidak akan menganggap ancaman anda ini serius sampai anda berperilaku seperti bandit jahanam di luar sana.”
Aku melangkah maju. Leherku tergores oleh bulu Merak ini.
“Tampaknya memang anda sekarang ini penuh nyali… Puan palsu.”
“Begitu lebih baik, komandan Arche. Aku lebih senang anda langsung begini. Kalau ada apa-apa di sini, jelas sekali tuduhan akan dialamatkan pada anda.”
Ia mendadak menurunkan bulu Meraknya. Ah, sepertinya ia masih khawatir kalau statusku belum sepenuhnya dianggap palsu “Anda mematuhi para Maha Patih, bukan?”
“Aku patuh pada bunda, komandan Arche--”
“Benarkah?”
“Untuk apa berbohong. Aku adalah Adinda. Anaknya.”
Lantas ia menggaruk kepalanya dengan kesal. Suara emosinya pun terdengar seperti orang yang baru saja melakukan kesalahan besar. Ini pertama kalinya aku melihat ia begitu panik… ada apa dengan para Maha Patih ini?
“Hamba… minta maaf, Puan… Putri.”
Ada apa sih? Aku boleh bertanya sebagai Adinda tidak, ya?
“Hamba silap berlaku kasar. Hamba melihat para Maha Patih memperhatikan Puan Putri dari jauh tadi. Hamba… khawatir kalau ternyata Puan Putri berkolusi dengan mereka untuk melakukan tindakan makar.”
GILA! Tuduhannya sadis sekali!
“Anda serius menuduhku seperti itu?” Aku yakin Adinda juga akan mendampratnya. Dia sayang pada bunda dan tidak akan tinggal diam dituduh begitu.
“Maka dari itu mohon maafkan hamba! Hamba gelap mata!”