Malam sudah larut. Puri dan Puti sudah kembali membawa piring dan lauk yang kuhabiskan. Keduanya undur diri dengan cepat. Katanya mereka ingin menggubah sajak untuk melaporkan kerusakan kapsul siang tadi. Rupanya laporan keduanya ditanggapi serius.
Sebelum mereka pergi, aku meminta sebuah pil tidur lelap Lullapil. Keduanya bersegera memberikan bahkan bertanya apakah aku perlu ditemani.
“Tidak apa-apa. Hanya istirahat saja akan sembuh, kok. Tenang saja.”
Keduanya pergi dengan wajah cemas. Sekarang aku tidak yakin mereka dapat menyelesaikan sajak mereka untuk mendebat para insinyur dan Mentalist.
Aku menutup mata. Perlahan kudengar suara emosi mereka yang cemas berangsur menjauh dari area pindai. Mungkin saatnya aku bersiap-siap juga untuk mencari bukti di sekitar istana. Aku perlahan menutup korden jendela dan mematikan lilin.
Dalam kamar yang gelap ini aku mengambil Rapier dari cermin. Untuk menutupi identitas, aku memasang topeng kain. Ini momen tepat untuk kembali menggunakan wajah asliku. Tak lupa, aku menggelapkan kulitku, berusaha agar mendekati warna kulit pesisir pantai di selatan Erune. Harusnya dengan begitu aku tidak lagi dikenali.
Tujuan utamaku adalah mencari lokasi lantai tempat tinggal Maha Patih. Harusnya di sekitar menara keempat dan kelima. Rasanya sempat kulihat pintu masuknya saat jalan-jalan kemarin.
Dan untuk itu aku harus menyusuri lorong.
Masalah utamanya adalah…
Aku yakin lorong di istana akan dipenuhi Dayang Cahaya. Sore hari tadi sudah kulihat beberapa dayang memantik api dari Mantra mereka. Dan biasanya merekalah yang memiliki daya deteksi paling akurat dalam mencari manusia yang bersembunyi menggunakan cahaya.
Dan para Dayang Cahaya juga pasti ditemani oleh sepasang Kesatria Zirah putih yang terbiasa menyerang makhluk cepat. Sekalinya aku ketahuan oleh Dayang Cahaya, kemungkinan besar aku akan diburu oleh mereka.
Kemungkinan besar aku harus siap membaurkan cahaya terhadapku saat berjumpa mereka.
Rasanya persiapanku cukup. Rapier kulengkungkan dengan Kekuatan Keinginan dan kujadikan ikat pinggang. Harusnya mempertahankan wujud ini tidak sulit selama aku masih bisa membagi perhatian.
Sekarang untuk keluar dari menara ini… aku menoleh ke arah langit-langit. Ini bagian yang mungkin sulit dan untung-untungan. Aku melompat ke arah langit-langit.
Aku menjulurkan tanganku dan menyentuh langit-langit. Perlahan kudendangkan keinginan untuk menempel lalu perlahan berpindah jadi menembusnya. Perlahan tapi pasti tubuhku tersedot ke dalam langit-langit. Riak ruang yang terbelah oleh Kekuatan Keinginan perlahan kembali menutup setelah aku berada di loteng.
Aku beristirahat sejenak di loteng. Sedikit menyesal juga mengapa aku tidak mencoba lebih banyak berlatih untuk menembus objek menggunakan Kekuatan Keinginan. Aku menarik napas dan siap untuk keluar dari loteng ini.
Kali ini aku menyembulkan kepala dari atap. Benar saja, saat malam pun kulihat bulu-bulu unggas bercahaya bertebaran. Aku beruntung tidak ada bulu merak si komandan. Tapi banyaknya bulu yang bertebaran ini membuatku sedikit jeri juga. Aku tidak paham mengapa seakan harus menutup langit begini…
Aku menghela napas panjang. Sekali lagi bersyukur adanya angin yang membantu bulu-bulu itu berserakan menjauh dari pengawasan. Sekarang aku berada di atas undakan atap jembatan menara terakhir dan menara kelima. Setelah meyakinkan diri kalau aku jauh dari dua kesatria berzirah hitam penjaga menara terakhir, barulah aku turun.
Benar dugaanku… baru saja aku menapakkan kaki sudah terdengar suara langkah kaki Dayang Cahaya dan Kesatria berzirah. Haruskah aku kembali melompat ke atap dan bersembunyi sampai mereka lewat?
Tidak. Lebih baik tenggelam ke lantai berjalan melewati mereka. Harusnya keberadaanku di bawah sini tidak bisa dideteksi. Aku perlahan berjalan dengan membelah ruang. Rasanya sangat tidak nyaman berada di sini lama-lama. Seluruh sendi tubuhku seakan ditarik ke berbagai arah. Sekali saja fokusku buyar mungkin aku akan mati terjepit di sini.
Memperlakukan belah ruang agak mirip seperti berenang. Bedanya ada kalanya harus fokus menjadikan objek sebagai pijakan. Aku membayangkan bagaimana Puri dan Puti menuntunku turun tangga.
“Sepertinya ada orang di sini…” aku tersedak mendengar suara perempuan. Mereka tepat di atasku. Aku memilih tidak melihat mereka tapi masih bisa mendengar suara mereka. Aku menduga ada empat orang dari suara langkah kaki. Dua Kesatria, dari suara derik sepatu logam, dan dua dayang, dari suara dua sepatu jeraminya.
Aku memilih diam dulu sementara dan memastikan Kekuatan Keinginanku dalam kondisi tak terdeteksi. Aku memperlambat detak jantung agar getarannya tidak terdengar, begitu juga napasku. Kadang ada Kesatria yang sensitif terhadap segala keanehan material. Tapi mempertahankan imaji berada di atas platform cukup menguras stamina. Aku hanya punya 10 hirupan napas maksimal. Kalau mereka tidak pergi, aku terpaksa mengambil jalan ekstrim.
“Aku tidak merasakan apapun,” balas suara pria yang terdengar berat.
“Aneh, ya… belakangan aku sering merasa seperti ini lho. Kemarin aku merasakan ada gelombang kejut tak kasat mata. Gelombang itu seperti memanggil rekan.”
“Semenjak hilangnya Puan Putri kemarin itu ya?” balas suara pria lain yang agak nyinyir.
“Dan bukan cuma aku saja. Maya dari Menara keempat lantai satu juga merasa itu,” si Dayang Cahaya terdengar sewot.
“Fia menara keempat lantai tiga juga. Banyak kok yang ngaku begitu. Atik, Miral, dan Koral dari menara pertama juga,” timpal suara perempuan lain yang agak sewot.