Aku terlambat bangun. Dan sialnya benar saja kepalaku panas. Niatannya ingin pura-pura sakit malah justru meradang begini. Ditambah batuk pula. Ini bukan karena aku tidur menyender dinding kan… Apa aku jadi melemah setelah tinggal di sini?
…Syukurlah! Untung tidak ada sisik pelangi di kulitku. Kalau sampai aku mengalami bentrok keinginan aku harus segera melapor guru. Kalau ada kontradiksi Keinginan, bisa jadi tubuhku tidak lagi berbentuk atau bahkan mati.
Aku pernah mengalami hal yang lebih buruk tapi tidak pernah sampai selelah ini. Salah satunya terpapar es hitam bunda. Apa jangan-jangan keinginanku menyamar sebagai Adinda melemah? Jujur saja. Semua masalah di sini memang merepotkan.
Aku menepuk keras pipiku. Ayo Saravine, kuatkanlah keinginanmu. Masalah selalu ada di manapun dan bisa diselesaikan dengan usaha!
Kudengar pintu diketuk. Astaga, aku sampai tidak sadar kalau Puri dan Puti sedari tadi sudah menungguku di depan pintu. Aku bersegera melompat ke kasur dan pura-pura baru bangun.
“Masuk.”
Ujarku dalam suara serak. Tanggung sudah sakit, sekalian saja dibuat lebih meyakinkan.
Keduanya masuk. Begitu melihatku keduanya terkesiap.
“Puri, Puti--”
“Puan Putri!!”
Keduanya berlari mendekatiku “Puan Putri tidak apa-apa?”
Aku heran mengapa mereka sampai sepanik itu? Aku tertawa kecil “Memangnya ada apa sih? Kalian sampai ribut seperti ini.”
Keduanya bersegera mengeluarkan cermin. Astaga! Wajahku pucat sekali. Sampai bibir juga membiru begini. Perasaan kemarin baik-baik saja. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu saat pertempuran dengan Arche kemarin? Atau… saat bertemu dengan Vizmasta kemarin.
Apapun itu, sekarang kondisiku sebagai pesakitan cukup… meyakinkan. Puri bahkan meminta Puti untuk turun ke bawah dan segera melapor pada dua Kesatria. Ini pertama kalinya kulihat dayang Adinda itu berlari dan meloncat turun dengan sangat cepat. Aku yakin, kecepatan bergeraknya kurang lebih setara denganku. Sungguh, penghuni istana ini penuh kejutan.
Aku mengusap kepala Puri. Berulang kali ia berbisik mengeluh dalam kekesalan “kenapa aku bukan Sylph.”
Pastinya ia tidak tenang karena ia bukan yang pertama bisa turun ke bawah. Sesenggukannya mulai berkurang begitupun suara emosinya. Ia bahkan memegang lenganku dengan gemetar.
“Sebentar lagi Puan Tabib utama pasti datang. Tenang saja--”
Apa-apaan suara terompet keras itu?! mengganggu sa-
“Yang Mulia Puan Permaisuri tiba!!”
Astaga! Mengapa tiba-tiba bunda yang datang ke sini?
Aku melihat bunda menggandeng tangan dua dayang lain. Puri mengiringi di belakangnya. Wajahnya pucat. Kalau bunda datang, aku harus segera menyambutnya. Ugh, bahkan tiba-tiba saja badan ini melemah. Tanganku mencakar selimut. Dengan ini aku bisa mendorong tubuhku untuk turun dan berlutut.
“Adinda menghatur salam pada--”
“Tidurlah.”
Aku batal turun dari kasur dan menunggu bunda mendekat. Puri menjauh dari sisiku sampai ke dekat jendela. Ia diam saja di pojok sambil tertunduk dan berlutut.
Entah mengapa aku merasa ada yang beda dari langkah bunda. Bukan, biasanya aku merasa dingin tapi kali ini aku merasa cukup hangat. Ia kemudian berhenti tiga langkah dari hadapanku.
“Efeether…”
Aku tercekat, bunda menyebut nama belakang komandan satu itu.
“Istrellia.”
Oh, bukan. Aku lupa itu nama belakang Puan Tabib Utama. Beliau masuk pintu bersama dua Tabib yang kemarin kulihat.
“Daulat Yang Mulia.”
“Aku bisa mendekat?” ini pertama kalinya lagi kulihat Bunda begitu… cemas? Ah, aku baru ingat kalau bunda sangat berhati-hati bila salah satu dari kami sakit. Biasanya ayah yang menjaga. Tapi meminta persetujuan dari Puan Tabib Utama untuk mendekati anaknya sendiri rasanya tidak lazim.
“Hati-hati saja memeluknya, Yang Mulia.”
Ah, bunda kembali mendekat. Sekarang ia sudah berjarak satu lengan dariku. Sungguh, biasanya akan terasa dingin tapi sekarang tidak. Apa ada sesuatu yang membuatnya harus hati-hati dengan kondisi sekarang?
Aku tersenyum lebar. “Dinda senang bunda datang berkunjung ke sini.”
Bunda justru melihat seisi kamarku. Dari gerak matanya saja beberapa dayang tampak mundur menjauh.
“Ya.”
Ah, langkahnya memendek. Bahkan sejenak ia menatapku dari atas seperti ini. Aku menepuk sisi kasur dan mengisyaratkan beliau kalau aku aman di sampingnya. Barulah bunda duduk.
Dingin.
“Dingin?”
Aku menggeleng. Tangan dingin bunda menyentuh pipiku. Pindah ke leher. Ah!
Matanya menyalang lebar. Apa yang dilihatnya?
“Luka?”
“Ini karena Arche. Ia tidak sengaja melukaiku saat kapsul tiba-tiba rusak.”
Bunda menaikkan alisnya. Oh apakah bunda curiga? Bukan… gerak matanya justru memicing melihat sesuatu yang tampak lebih mencurigakan… tapi apa?
“Yang di sebelahnya?”
EH? Ada luka lain di leher?