Sembunyinya Keinginan

Rendi Datriansyah
Chapter #32

Chapter 32 - Maha Patih

Komandan satu itu benar-benar tidak menyembunyikan agresinya.

“Sangat tidak kusangka Maha Patih Algoransi yang sibuk menyempatkan waktu untuk datang ke tempat ini.”

Adalah kalimat penyambutan darinya.

 

Sialnya, Puri dan Puti terlanjur membuka pintu. Keduanya juga tampak tegang. Terasa bagiku bahwa keduanya serba salah dengan otoritas dari Maha Patih ini. Tapi setidaknya sekarang aku bisa melihat figur beliau.

 

Setelah dari dekat barulah aku bisa melihat jelas wajahnya. Maha Patih Algoransi adalah kakek tua dengan wajah merah dan janggut dan alis putih. Alisnya yang menukik tajam dan lebat sepertinya mengesankan beliau marah. Tapi bibirnya meruncing ke atas seperti sedang tersenyum. Selendang putihnya tampak berbelah dua di ujung. Kudengar ada arti khusus tapi aku tidak tahu apa itu.

 

Ah, aku tidak suka caranya menatapku… ia seperti melihat mangsa, bukan seorang perempuan. Apa itu karena ia adalah seorang Cerberi? Ah, tidak, tidak. Bisa jadi memang kelakuannya seperti ini sedari awal.

 

Dua kesatria berzirah hitam mengikuti kakek tua ini. Keduanya tinggi besar, jauh lebih tinggi dari penjaga pintu menara terakhir. Keduanya membawa palu yang disandang, tidak disimpan. Aku tak nyaman melihatnya karena terkesan mereka siap untuk menyerang siapapun. Haruskah penjagaannya begini rupa untuk mengunjungi Adinda?

 

“Kapan lagi ada kesempatan mengunjungi Puan Putri tersayang kita.”

Ugh, aku jijik mendengar balasannya. Begitu pula Puri dan Puti yang saling pandang dan menunduk. Suara emosi Puri dan Puti bagiku terdengar seperti pengandaian bila saja mereka boleh dan mampu melawan.

 

Ah, ia mau masuk!

 

Oh syukurlah, komandan itu menghalangi Maha Patih untuk masuk kamar. Tapi apa perlu dengan tombak di tangan? Lihat saja, dua Kesatria zirah hitam yang bersama si Maha Patih juga siaga senjata.

“Perlu kuingatkan hanya Yang Mulia Puan Permaisuri dan dua dayang Puan Putri yang diijinkan masuk.”

Si Maha patih berusaha menggeser tombak dengan jarinya. “Ah, tapi kudengar Istrella dan dua abdinya diijinkan.”

“Karena yang Mulia Puan Permaisuri hadir di sana.”

 

Keduanya terdiam dan saling pandang. Dari keduanya dapat kudengar jerit ketidaksukaan yang saling beradu kencang.

 

“Katakan saja maksud kedatangan anda di depan pintu ini, Maha Patih.”

Kulihat si Maha Patih melinting kulit sudut bibirnya dan tersenyum meremehkan.

“Dan anda, komandan Arche, akan menjadi hakim yang menilai tujuan kedatanganku?”

 

“Aku yang akan menilai.”

Kali ini adalah wilayahku untuk menginterupsi.

“Bila kalian berdua ingin bersilat lidah mohon lakukan di luar menara ini.”

Aku saat ini sedang ‘sakit’ dan keberadaan keduanya justru menambah pusing kepala.

 

“Kalau begitu, aku datang hanya ingin menanyakan apakah Puan Putri akan hadir dalam pesta?”

“Terima kasih karena tidak menanyakan kesehatanku terlebih dahulu,” sindirku halus padanya. Aku mulai tidak nyaman dengan keberadaannya. Ia tidak merasa dirinya abdi kerajaan dan karenanya aku merasa ia seakan bertanya selayaknya Adinda adalah properti publik.

“Ah, ya ya, aku pikir Puan Putri kami tidak akan melewatkan kesempatan mengikuti pesta… walau sedang sakit.”

Kalau begitu kenapa bertanya? Hampir saja kusebutkan padanya. Tapi aku hanya tersenyum saja.

“Bisa jadi aku yang sekarang tidak akan ikut.”

 

Kulihat wajah Arche memutih. “Separah itukah?” tanya si kakek. Wajahnya justru memerah dan jelas-jelas ia tersenyum senang.  

Aku melirik pada Arche. “Kalau terlalu banyak diganggu bisa saja,” balasku ringan sambil merapihkan bantal. Jawabanku ini membuatnya terkekeh.

 

Sial. Apakah keputusan ikut atau tidak ini akan berpengaruh besar? Apa yang sebenarnya akan terjadi di pesta tersebut?

Lihat selengkapnya