Semburat Kelabu

Gia Oro
Chapter #1

Sisa Tenaga

Di antara semak-semak itu ia berusaha mengais-ngais tenaga yang tersisa. Geram sudah mengambil alih jiwanya, namun air mata juga turut tidak berhenti mengalir di wajahnya yang tidak tampak oleh kegelapan malam. Sesaat ia merasa tidak mampu lagi melanjutkan upaya untuk merangkak pulang, rasa ingin menjerit namun ia tidak mau ditemukan dalam keadaan tidak berdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai saudara tua terhadap negerinya. Nyaris dirinya kehilangan kesadaran, namun segera terkesiap memaksakan diri untuk merangkak.

Terbayang saudara laki-laki satu-satunya. Kematian yang berlangsung di depan mata. Sama hal seperti saat menyaksikan penebasan itu, seketika luruh sudah seluruh tenaga yang tersisa. Sebelum tenaganya benar-benar lenyap, ia mendengar suara langkah mendekat. Kian suara semak-semak kian terdengar, tidak mampu pula kesadaran itu diraih.

Seorang tentara, memeriksa tubuh gadis itu. Tidak, bahkan gadis itu sudah tidak gadis lagi. Ia begitu menyesal tidak mampu menolong gadis itu saat rudapaksa itu berlangsung tadi, sebelum sang gadis akhirnya berupaya merangkak dengan tenaga yang tersisa. "Kanaya...," desis tentara itu menyebut nama sang gadis. Ia sempat mengenal sesaat gadis itu ketika menjalankan tugas yang menurutnya sangat keji. Merasa tidak mampu membantu penduduk dari negeri yang bangsanya datangi, ia berpikir akan memulai menolong Kanaya. Dengan hati-hati ia berusaha membopong gadis itu ke rumah gadis itu yang sudah ia ketahui.

Sebuah rumah yang tidak pantas disebut rumah, lebih tepat disebut gubuk tidak terurus. Dengan berusaha agar tidak diketahui siapa pun terutama orang-orang dari bangsanya, ia melangkah ke gubuk terpencil itu. Memasuki sebuah ruangan yang diyakini sebagai kamar, ia memindahkan Kanaya ke alas tidur yang sangat memprihatinkan. Menyadari suhu tubuh Kanaya tinggi sejak ia membopong, segera ia mencari kain dan air untuk mengompres kening itu.

"Mas Wisnu...," Kanaya mengigau, menyebut sang kakak laki-laki. Samar-samar menggeleng-gelengkan kepala seperti berusaha untuk menggapai kesadarannya. Secara perlahan, sepasang matanya melihat bayang-bayang sosok, ia pun kecewa karena bukan sang kakak yang sedang merawatnya, melainkan salah seorang di antara orang-orang yang mengaku sebagai saudara tua. Matanya lantas membelalak dan refleks bangun dari baringnya, namun ia tidak mampu karena hal yang menyakitkan dari bagian bawah tubuhnya akibat rudapaksa yang ia alami.

"Apa yang kau lakukan di sini?! Kau mau apa lagi?! Hah?!" serunya kalap dan secepat kilat ia menarik pakaian tentara yang dikiranya sama biadabnya dengan tentara yang lakukan rudapaksa tadi.

Akan tetapi tidak ada perlawanan dari tentara itu, selain memejamkan mata kuat-kuat seolah-olah takut pada gerakan Kanaya. Hal demikian membuat Kanaya memandang heran, namun geram dalam jiwanya bukan berarti lenyap begitu saja. Seraya menjerit histeris, Kanaya menampar wajah yang menunduk itu dengan kibasan salah satu lengannya dengan sekuat tenaga. Tentara itu terhempas, tidak terlihat dari gerak tubuh itu ingin membalas. Dan wajah itu, tetap menunduk.

Kanaya yang menantikan tanggapan murka dari tentara itu justru merasa semakin takut. Dengan masih merasakan sakit di tubuh, ia beranjak menuju dapur. Sebilah pisau disambarnya, dan akan ia tikam ke dirinya sendiri. Agak gemetar kedua tangannya sebelum benar-benar membunuh diri sendiri, tapi tiba-tiba pisau itu sudah direbut oleh tentara tadi.

"Apa yang kau lakukan? Kembalikan pisau itu!"

Tentara itu menggeleng-geleng dengan menyembunyikan pisau di belakang tubuhnya.

"Kau ingin membunuh bangsa kami, kan?! Biarkan aku sendiri yang lakukan, daripada kalian hanya bisa menggagahi para perempuan bangsa kami!"

Lihat selengkapnya