Seketika wajahnya menegang setelah penuturan yang terdengar tiada kesan rasa bersalah itu merambat ke pendengarannya. Pemuda itu menelan air ludah, nyaris menghampiri namun segera urung bilamana yang akan keluar dari mulutnya adalah intonasi amarah. Tidak habis pikir atas apa yang dilakukan pada sosok yang baru beberapa hari lalu melahirkan yang tengah berwajah tenang di depannya. Begitu mendapatkan jawaban setelah bertanya berulang-ulang, segera pemuda itu keluar gubuk dan mencari sosok yang diceritakan.
Yamamura berusaha memasang kepekaannya terhadap kemungkinan apa yang bisa didengar atau dilihatnya. Dalam langkahnya yang cepat itu ada rasa ingin menertawai secara miris pada dirinya karena seolah-olah ia sudah menyayangi putra Kanaya, sembilan bulan berlangsung telah berlalu sudah seperti sepasang suami istri—dengan Kanaya tetap di gubuknya dan Yamamura membawakan makanan—tapi tentunya tidak tinggal satu atap.
Namun sembilan bulan yang baru saja dilewati ada kesan menggemaskan karena beberapa kali Kanaya selalu menyiapkan kayu balok ketika Yamamura masuk. Tetapi ayunan balok itu tidak benar-benar mengenai, Kanaya segera membuang muka dan menyembunyikannya ke belakang. Sementara Yamamura, ia selalu siap sedia dan rela bila memang Kanaya ingin membunuhnya karena baginya kematiannya tidak berarti dibanding banyak orang di negeri ini alami kematian akibat bangsanya yang sebagai pendatang. Ia tetap mengajari bahasa Jepang, Kanaya pun sebaliknya. Wajah polos Kanaya saat kegiatan belajar itu membuat Yamamura antara gemas dan miris karena masih awal belia sudah alami hal yang memilukan.
Tidak mengherankan bila Kanaya sama sekali tidak menginginkan bayinya, berulang kali selalu itu yang dikatakan Kanaya sebelum kemudian mengatakan akan melakukan pembalasan dendam terutama pada tentara Jepang yang sudah menggagahinya. Setelah melahirkan pun juga demikian dikatakannya berulang kali. Proses melahirkan yang tidak diketahui siapa pun, Yamamura sudah mendapati kondisi Kanaya tidak berdaya di dapur dengan kondisi bayi yang telah lahir. Sangat tidak mungkin minta bantuan, karena berisiko keberadaannya terutama Kanaya akan diketahui. Yamamura yang kemudian merawat bayi dan sang ibu dengan semampunya, namun tiada disangkanya hari ini Kanaya mengatakan bahwa bayi tanpa nama itu sudah diserahkan ke seorang temannya.
Senyum kecil di bibir lantas terbit, Yamamura melihat seorang gadis belia sejauh mata memandang. Ia mempercepat langkahnya bahkan dengan berlari. Akan tetapi terlihat dari arah lain tampak sosok dengan pakaian yang sama dengannya, Yamamura segera bersembunyi. Ia mengenal sosok itu, rekan tentara dengan jabatan yang sama dengannya. Ryusei, nama sang rekan. Tidak bisa dijangkau apa yang sedang dibicarakan Ryusei pada sosok gadis yang masih dalam dugaan Yamamura adalah teman Kanaya, namun dari gerak dan bahasa tubuh Ryusei menunjukkan akan berbuat celaka.
Dugaan Yamamura tidak meleset, ia segera keluar dari persembunyian dan menghampiri. Kondisi Ryusei yang sudah merobek pakaian sang korban tidak dipedulikan Yamamura yang tidak berpikir panjang untuk menarik bagian belakang seragam tentara itu. Begitu mata dua pemuda itu bertemu, Yamamura melayangkan bogemnya hingga Ryusei terjerembab. "Kenakan pakaianmu!" perintah Yamamura menoleh namun tidak sampai menatap korban Ryusei.
"Yamamura Ryohei...??? Apa maksudmu???!!!" Ryusei tidak terima, segera bangkit berdiri dengan tatapan menantang. Pandangannya seketika berubah ketika melihat korbannya sudah bangkit dengan pakaian yang sudah ditutup, tiba-tiba mendorong Yamamura untuk menyingkirkan demi menendang bagian vital Ryusei. Dan lagi, Ryusei kembali terjerembab dengan suara yang sudah tidak mampu lagi untuk mengeluh.
Yamamura yang sempat terkejut oleh tindakan korban Ryusei, merasa takjub meski ia harus didorong sampai jatuh. Tak lama Ryusei mengerang kesakitan, Yamamura tidak peduli dan kembali bangkit mengejar sang korban. Hampir lupa ia dengan nama teman Kanaya yang sempat disebutkan, Yamamura lantas memanggil korban itu "Citra!"
Tampaknya benar belia itu bernama Citra, langkahnya terhenti seketika dan menoleh pada Yamamura.
"Apa benar kau Citra? Temannya Kanaya?"
"Bahasa Indonesia kau lancar..."
"Kanaya yang mengajari saya..."
"Kanaya...???" Wajah belia itu terkejut. "Ken... kenapa??? Ada hubungan apa kalian?"
"Saya Yamamura Ryohei. Saya yang...," Yamamura merasa tidak pantas menyebut diri membantu Kanaya selama sembilan bulan. Belum lagi, bicara 'membantu' maka dari sejak tindakan rudapaksa pada malam itu terjadi seharusnya Yamamura mencegah sebagaimana yang baru saja dilakukannya pada Citra barusan.