Sementara untuk Kembali

Sifah Nur
Chapter #1

1. 2022

"Ibu, bangun, Bu. Mobilnya di sana. Bapak masih di sana. Ayo, bangun, Bu!"

Raditya memeriksa tubuh wanita muda itu. Ia menggelempar di atas aspal panas. Mobil di sepanjang jalan terus berlalu lalang, tapi tidak ada yang mau berhenti. 

"Ibu bangun. Ibu masih bisa jalan, kan?"

Pandangan Radit tertuju pada satu titik sekitar beberapa meter di sisi kirinya, "Kaki Ibu satunya di sana, aku ambilkan ya, Bu. Bu, kita harus lihat Bapak. Itu pintunya terbuka. Tangannya Bapak kelihatan dari sini," ujar Radit terus berusaha membangunkan.

Karena tidak mendapatkan respon, ia memilih mendekati bangkai besi besar yang penyok di salah satu sisi. Ringsek parah. Hampir tak berwujud.

"Bapak, Pak," panggilnya pada seorang pria yang masih duduk di bangku belakang kemudi.

Badannya masih utuh, hanya sedikit turun akibat bangku yang entah sebagian terlepas hingga miring menyentuh jalanan. Tanggannya tergelempar dalam posisi yang tidak jelas. Bahkan kakinya itu tidak terlihat sama sekali. Tertimbun pecahan kaca dan himpitan body mobil yang pesok.

"Bapak bisa keluar? Keluar, Pak. Ibu di sana. Ayo, kita cari bantuan sama Radit."

Segala seruan, panggilan, bahkan ia memohon pun tidak ada balasan. Radit terus memaksa pria muda itu untuk bangun. Wajahnya tertutup darah yang mulai mengering. Ada pada sisi dagu dan leher yang hitam legam mulai bermunculan. Miring dengan derajat yang tidak mungkin dilakukan manusia normal, kecuali ia seelastis karet.

Semuanya serba mengabur, pandangan Radit buram. Berkunang-kunang tidak tahu rasanya berpijak. Yang ia rasakan saat ini hanya samar-samar terdengar sesuatu. Masih ada seorang remaja laki-laki di bangku paling belakang dan tangisan. Ya, terdengar suara tangisan bayi dari arah belakang mobil. Bayi laki-laki tengkurap di bawah mobil berasap itu. Matanya terpejam karena tertumpuk gumpalan darah. Menangis, terus menangis dan meraung seolah meminta tolong.

Sama seperti Radit yang kini tertegun menyadari jika itu, dirinya.

***

"Tolong, semuanya kembali ke kelas!"

Pak Andi memaksa semua siswa yang yang sengaja memenuhi ruang bimbingan konseling untuk bubar. Setidaknya memberi tempat kepada kepala sekolah mereka untuk masuk. Banyak suara-suara terdengar di sana. Mampus si Ilham, di DO dia, atau pernyataan lain seperti kalau sudah Pak Radit turun tangan bahaya dan semua praduga anak-anak kelas 10 hingga 12 yang tahu akar masalahnya sejak awal.

Tentang si Ilham, anak kelas 11 MIPA 3. 

Ilham ketahuan mencuri. Itu kasus terakhir yang didapatkan oleh aduan warga ke pihak sekolah. Parahnya, setelah satu persatu masalah diusut, Ilham memanglah seorang kriminal. Ada jejak ia seorang kurir putau setahun lalu. Belum lagi ia tergabung dalam sebuah geng motor yang suka sekali melakukan pembegalan di beberapa kawasan pinggiran. Dan yang terparah, ia telah menghamili pacarnya sendiri.

"Saya tidak percaya ada siswa seperti dia masuk di sekolah kita. Bahkan bertahan hingga tahun kedua," bisik Pak Andi, guru sejarah sekaligus membawahi bidang kesiswaan di sekolah.

"Anak beasiswa, Pak Andi. Dia peraih medali OSN Matematika saat SMP dan lulus tes di sekolah ini dengan nilai terbaik kedua di angkatannya dulu. Kok bisa, ya?" bisik Bu Anik, bidang administrasi sekolah. Sudah sejak pagi ia ikut membantu mengurus berkas untuk pengeluaran Ilham dari sekolah. Akses yang cukup membuat Bu Anik bisa membuka kembali riwayat akademis pemuda itu.

Di ruangan itu duduk tiga orang dengan wajah tertunduk. Sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki bertubuh kurus duduk di sebelah ibunya. Masih berseragam lengkap. Rapi dan bersih. Jauh dari gambaran seorang anak bejat yang sebentar lagi siap digiring polisi. Kalau kata simpang siur yang terdengar dari beberapa siswa, Ilham masih punya nyali untuk berangkat sekolah sambil membawa banyak kasus.

"Selamat siang, Bapak dan Ibu. Sebelumnya perkenalkan, saya Raditya, Kepala Sekolah di sini. Sebagaimana bapak dan ibu ketahui dari surat panggilan yang mungkin sudah kesekian kali didapatkan dari pihak sekolah, sekiranya untuk kali ini," Radit sejenak diam, melirik singkat ke arah Ilham serupa bocah pasrah selepas dimarahi. Ia sangat kecewa, "tindakan Ilham sudah tidak bisa kami toleransi lagi. Dengan sangat menyesal, llham kami keluarkan dari sekolah." 

Mencelos hati Radit mendengar tangis suami istri itu pecah. Memohon padanya agar segala dosa putranya dapat diampuni. Tapi bagaimana lagi, Radit bukanlah Tuhan. Urusan dosa bukan ia yang tanggung. Radit melakukan tindakan yang telah menjadi wewenangnya sebagai pemimpin sekolah. Ia bertindak sesuai aturan yang berlaku. 

"Tolong, Pak Radit. Kami sudah tidak tahu harus bagaimana. Ilham pasti sulit masuk ke sekolah lain. Sekolah negeri juga pasti akan menolak. Dan ... kami tidak punya biaya untuk mencoba sekolah swasta lain. Kami mohon, Pak. Ilham bisa perbaiki nilainya. Mungkin ikut lomba-lomba lagi. Beri kesempatan kepada Ilham. Kami mohon."

Ibu Ilham terus memohon ampun atas nama putranya. Pilu sekali mendengar tangisan itu. Perjuangannya tidaklah main-main demi harkat dan martabat putranya.

"Sekali lagi mohon maaf, Bapak dan Ibu. Ilham bukan lagi melanggar satu aturan penting dari sekolah, tapi lebih dari itu. Kami ...."

"Sudahlah, Bu. Kita pergi dari sini. Jangan bikin malu," Ilham membentak. Menarik tangan Ibunya untuk keluar dari ruangan. Muncul juga sifat aslinya.

"Ilham! Jaga sikapmu! Ada guru dan kepala sekolahmu di sini," teriak Ayahnya.

Ilham malah mendelik menantang balik, "Ayah juga, sih. Kalau kalian sudah tahu, kenapa masih datang. Malu-maluin aku. Belum lagi sebentar lagi mungkin ada polisi yang datang," ungkapnya.

"Kamu dikeluarkan, Ham. Mau jadi apa kamu?" ibunya masih terus terisak.

"Aku rusak itu gara-gara kalian, ngerti!" Ilham berhasil keluar setelah mendorong Pak Andi yang masih berjaga di depan pintu. Bu Perlita sebagai orang lama menangani kelakukan nakal Ilham hanya bisa pasrah. Selama bertahun-tahun ia menjadi guru bimbingan konseling, kasus Ilhamlah yang membuatnya merasa lelah lahir dan batin. 

Bu Perlita berbisik agar urusan Ilham segera dituntaskan. Radit segera menandatangani surat pengeluaran Ilham dan menyerahkannya ke sang Ibu. Sementara Ayah dari Ilham mencoba mengejar putranya keluar.

Plak! Tamparan keras didapat Ilham dari tangan ayahnya sendiri. Ibarat panggilan, suara tamparan itu mengundang para siswa lain sibuk kembali mencari tahu.

"Ayah tahu nggak? Ilham malu, Yah. Ilham seperti ini gara-gara Ayah sama Ibu. Ilham sudah nurutin semua kemauan kalian buat bisa sekolah di sini. Sekolah bagus, beasiswa. Tapi apa Ayah tahu bagaimana Ilham di sini?"

"Nak," panggil Ibunya setelah menarik mundur sang suami untuk tidak menyerang fisik putranya lagi.

"Kamu anak baik. Kamu anak pintar. Kenapa jadi begini?"

"Ilham malu, Bu."

Sepasang orangtua itu benar-benar kasihan. Mirip drama televisi tentang anak durhaka yang memaki-maki orangtuanya. Hanya saja ini benar-benar terjadi. "Ibu sama Ayah banting tulang buat kebutuhan kamu, Ham. Kamu butuh apa, bilang sama Ibu sama Ayah. Ibu mohon jangan begini, Ilham." Sang Ibu terus memohon.

"Nggak cukup, Bu!"

Anak yang kalem, pendiam, pandai dan segala ungkapan sosok sempurna di diri Ilham sirna sudah. Radit pun masih ingat, ia sendiri yang memberikan tanda simbolisasi penerimaan siswa baru kala itu. Dan Ilham lah yang menjadi wakil siswa jalur beasiswa yang diberi kehormatan penghargaan sekolah atas prestasinya.

Sayangnya, sosok Ilham yang saat itu bersinar kini redup bahkan kelam. 

"Nggak bisa, Bu. Nggak bisa!" pekik Ilham. Suaranya kini mengundang semua siswa yang ada di kelas untuk melihatnya. Bahkan sebagian besar terang-terangan mengeluarkan ponselnya untuk merekam Ilham tanpa rasa peduli sedikitpun.

Ilham tertawa kesetanan. Dunianya telah hancur.

"Ilham ... Minta maaf ke orangtuamu, sekarang," pinta Radit merasa tidak tahan melihat kelakuan mantan siswanya itu.

"Mereka nggak pantes jadi orangtua saya, Pak," teriak Ilham.

"Durhaka kamu, Ilham!" pekik Ayah Ilham. Wajahnya sudah pucat menahan amarah.

"Sadar, Ilham. Bagaimana pun juga, mereka orangtuamu. Apapun keadaannya kamu wajib berbakti kepada mereka. Bersyukur kamu masih punya orangtua."

"Mudah memang mengatakannya, Pak. Andai saja Bapak yang jadi saya. Rasakan bagaimana punya orangtua seperti mereka!"

Ya, tentu Radit sangat menginginkan tahu rasanya memiliki orangtua. Namun jelas itu tidak mungkin. Merasakan kasih sayang orangtuanya sendiri saja Radit tidak tahu.

Ilham berbalik menyerang Radit. Tanpa takut, Radit malah berusaha pasang badan melindungi, orangtua Ilham yang semakin lemah.

"Nggak akan bisa. Upah mereka setahun saja gak bisa beli ponsel yang saya mau. Bagaimana saya bisa baik dengan mereka kalau keingin saya saja gak pernah mereka kabulkan. Mereka hanya bisa menuntut tanpa tahu penderitaan anaknya di luar sana." Jari telunjuk Ilham ringan menunjuk ke salah satu sudut sekolah.

Lepas dari cegahan Radit pada Ilham, semua siswa yang melihat kejadian itu sempat melemparkan seruan tanda tidak suka kepada Ilham. Santai, Ilham mengacungkan jari tengahnya ke sekeliling siswa sambil berteriak, "brengsek kalian semua!" makinya.

Kejadian itu akhirnya dilanjutkan ke pihak berwajib. Ilham langsung dibawa polisi tepat saat ia keluar dari gedung sekolah. Diiringi tangisan kedua orangtuanya, Ilham pasrah. Ia harus bertanggungjawab dengan perbuatannya.

***

Semua urusan Ilham dan kedua orangtuanya telah selesai. Radit memilih menyendiri di ruangannya sambil menyelesaikan sisa pekerjaannya untuk hari ini. Grup sekolah yang berisi para guru dan staf masih sibuk membahas sebuah tautan berita dari akun sosial media yang memuat masalah Ilham. Bahkan foto dan video saat Ilham digiring polisi di depan sekolah menjadi perbincangan banyak media.

Sedikit banyak, kasus Ilham sudah mencoreng nama baik sekolah dan dunia pendidikan. Sebagai kepala sekolah yang bertanggung jawab atas harkat dan martabat tempat yang ia pimpin ikut merasa gagal. Radit takut, kasus ini dapat menurunkan minat masyarakat untuk memilih sekolah tempatnya ini untuk melajutkan pendidikan anak-anak mereka. Pengurusan akreditasi yang mulai menakutkan. Serta banyak lagi ketakutan yang mulai bermunculan di kepala Radit. 

"Sayang ...," Radit mengangkat panggilan video dari Anggi, istrinya.

"Mas, kamu nggak papa, kan?" tanya Anggi suaranya panik, "berita murid di sekolahmu lagi ramai dibahas orang. Grup keluarga juga banyak yang bahas. Mereka semua pada tanya aku bagaimana ceritanya."

Radit mengusap wajahnya lelah, "saya baik-baik saja, kok. Tenang saja."

"Yakin? Di video itu kelihatan banget kamu kayak nahan tangis atau ... panik, marah. Videonya blur. Aku sampai cari di TikTok. Sepertinya itu akun muridmu, Mas."

"Saya kan pakai kacamata, Sayang. Di video jadi kelihatan aneh."

"Enggak, kok. Tuh, ini juga kelihatan. Kamu habis nangis, Mas?"

Radit terdiam. Baru saja ia mengingat mimpi buruknya semalam sebelum kasus Ilham terjadi. Bahkan saat terbangun, ia berteriak cukup kencang dan menangis histeris. Anggi saksinya.

"Sudahlah. Kamu nggak perlu khawatir. Saya baik-baik saja. Kasus Ilham sudah selesai, kok," ungkapnya.

"Dia dikeluarkan?"

"Ya ...," Radit mengangguk pelan, "Ilham sudah tidak lagi tanggung jawab sekolah."

"Terus?" Anggi masih memaksa. Sesekali ia melirik sesuatu di sisinya. Berdesis menenangkan.

"Aku jemput, ya. Kamu sebentar lagi pulang, kan?"

Radit tertawa, "saya kan bawa mobil. Kamu ke sini naik apa? Motor? Saya nggak ngebolehin, ya. Kalau mau pesan online. Ujung-ujungnya juga kita barengan. Saya yang nyetir." Suara Radit mulai terasa santai. Melihat wajah sang istri rupanya mampu menenangkan hatinya.

"Ya, udah nanti aku yang nyentir. Kan, biar sekalian kamu cerita soal tadi. Aku penasaran tahu, Mas."

"Nggak perlu. Nanti saja kalau di rumah. Toh, nanti anak-anak bagaimana kalau kamu jemput saya?"

Kamera mulai bergerak sedikit turun. Anggi mengarahkan layar ponselnya ke arah bocah perempuan yang tidur meringkuk di ranjangnya dan Radit.

"Sasa tidur, Mas. Jadi bisa dititipin ke Bude sebentar. Reza lagi ngajak si kembar main ke rumah Jefa. Lihat kura-kura baru, katanya. Pasti pulangnya lama."

Anggi terlihat sangat keukeh untuk menjemput Radit ke sekolah. Selalu seperti itu. Anggi sudah sangat hapal dengan perubahan emosi Radit jika mengalami masalah. Ia khawatir, suaminya itu tidak bisa mendapat serangan masalah yang terlalu berat dengan tiba-tiba.

"Aku khawatir, Mas. Semalam kamu mimpi sampai ...,"

"Iya iya, Sayang." Radit terus meyakinkan jika ia mampu pulang dengan baik-baik saja. "Sudah, kamu istirahat saja. Mumpung si Sasa tidur, tuh. Coba lihatin lagi ke anaknya. Kangen banget, ih. Masyaallah anak Papa cantik banget."

Wajah lucu Shanum saat tidur sungguh mengemaskan. Mulutnya terbuka dengan rambut sedikit ikal acak-acakan di atas bantal. Si bungsu yang akrab dipanggil Sasa selalu membuat Radit kangen setengah mati. Putri satu-satunya, ya karena Anggi sudah tidak mau atau akan sulit juga untuk menambah lagi. Si bayi gembul yang tidak mau lepas dari sang Papa setiap kali bertemu.

"Sudah, ya. Mau ketemu, kan? Selesaikan dulu pekerjaannya terus langsung pulang. Aku masak rawon kesukaanmu, Mas. Sandung lamurnya banyak banget! Mengapung-ngapung. Uhh, nikmat banget."

"Siap. Jangan dihabisin, ya. Saya langsung pulang nanti."

Sambungan video call mereka telah terputus. Radit menarik napas dalam-dalam sebelum kembali mengatur emosinya. Kini, yang ada di pikirannya adalah segera menuntaskan pekerjaannya dan pulang.

Lihat selengkapnya