Bude menyajikan beberapa piring makanan untuk santap malam mereka. Dua bangku yang biasa kosong, kini terisi. Piring kosong ditata rapi lengkap dengan gelasnya.
"Selamat datang di rumah keluarga Pak Radit. Ini Bude sendiri yang masak tadi sama Bu Anggi. Suka sayur bayam? Atau rawon? Kalau mau sedikit berat, ada kare ayam juga. Semua kesukaan Pak Radit. Dimakan semua! Kalau butuh apa-apa, bilang Bude. Atau bisa langsung ke dapur sendiri."Â
Acungan jempol Bude menandakan kehadiran Surya dan Nabia diterima baik oleh mereka. Sepasang suami istri muda itu kini memilih menunggu tuan rumah untuk berkumpul sejenak. Tidak enak rasanya kalau tamu melancangi makan malam lebih dulu. Mereka juga punya tata krama. Setelah asik menikmati beberapa ornamen rumah, Surya melipir ke arah dapur. Beberpa laci ia buka, begitu juga lemari kecil dan kulkas besar di sana. Satu yang menarik perhatiannya adalah sebungkus keripik dengan gambar pria berkumis.
Tanpa pikir panjang, Surya menyantap nikmat keripik kentang yang baru saja ia temukan. Kepunyaan siapa, ia tidak tau. Letaknya ada di salah satu lemari dapur. Sebelumnya ia mengira itu adalah tempat sumpit atau tempat tisu gulung. Namun saat dibacanya tabung tersebut bersisi keripik kentang. Surya dengan bahagia menikmatinya hingga menyisakan beberapa keping. Nabila marah, mereka belum makan tapi Surya malah hampir menuntaskan camilannya.
"Kamu sudah tanya itu punya siapa, Mas?" Nabila meminumkan air kepada si kecil Radit setelah menghabiskan sekeping biskuit bayi.
"Dapur tempatnya makanan untuk satu keluarga, dan pasti saya boleh makan." Surya menunjuk ke arah Bude di halaman belakang.
"Kata ibu tadi, saya boleh makan apapun. Istrinya Pak Radit juga bilang boleh. Silakan makan yang ada. Saya nemu ini, lihat. Enak loh, mau?" tawarnya.
"Tapi kan kamu belum izin. Letakkan. Makan dulu. Mungkin sebentar lagi Pak Radit turun."
Nabila menemani Radit kecil bersama Shanum. Keduanya seperti seumuran. Hanya selisih beberapa bulan saja mungkin.
"Sudah bisa jalan?" tanya Anggi. Wanita awal empat puluhan itu mengamati postur tubuh Radit kecil.
"Masih minta dipegangi. Cuma kakinya sudah lumayan menapak."
Anggi membantu memasang pagar kecil pembatas area bermain untuk dua balita itu. "Sama, kuat-kuati di punggung buat nuntun." Lalu keduanya tertawa bersama.
"Ayo, Bang. Adek-adeknya diajakin makan. Nanti main lagi."
Suara Radit bagai komando. Reza langsung menarik si kembar bergegas ke ruang makan. "Kita makan dulu, Om. Nanti aku tunjukkan cara main PSnya." Reza beradu tos dengan Surya setelah merapikan beberapa alat yang baru dimainkan.
"Sebelum makan, Papa mau beri tahu kalian. Untuk beberapa hari ke depan, Om Surya dan Tante Nabila, juga putranya Radit—"
"Namanya kok mirip Papa, ya?" Uqy, menyenggol kembarannya meminta persetujuan.
"Papa kan memang namanya Radit. Bener kan, Bang Eja?" pertegas Aby ke si sulung Reza.
"Iya, namanya sama dengan Papa. Jadi, kalian harus sopan, ya. Om dan Tante ini, baru di lingkungan kita. Jadi kalau mereka butuh bantuan, dibantu. Kakak Aby sama Kakak Uqy jangan suka jahil. Apalagi sama Adek Radit. Dijagain sama seperti Adek Sasa. Mengerti?"
Ketiga anak laki-laki itu berteriak siap dan berjanji akan menuruti aturan.
"Semua peraturan harus ditaati, salah satunya tidak ada camilan saat makan malam berlangsung."
Sekeping keripik kentang hancur di mulut Surya. Dengan tambahan isyarat ancaman dari Nabila, Surya setuju untuk menutup kemasan keripik kentangnya dan bersiap santap malam. Malam ini meja makan terasa begitu lengkap.
****
Radit kecil sudah tidur. Nabila keluar dari kamar selepas memastikan buah hatinya nyaman dan aman di atas ranjang. Kini giliran dirinya mencari sang suami yang entah selesai makan malam tidak terlihat batang hidungnya.
"Oh, Pak Radit." Sapa Nabila sedikit berbisik. Pasalnya ia bertemu langsung saat Radit membawa tubuh tertidur si kembar sekaligus menuju lantai dua.
Sempat Nabila ingin menawari menggendong salah satunya, tapi ditolak oleh Radit dengan alasan posisinya menggendong sudah tepat.
"Sudah mengerti sekarang, Om?" tanya Reza.
"Ya, ya. Tombol-tombolnya sudah saya hapalkan. Nanti kalau kamu ajak Om main lagi, Om sudah bisa." Surya begitu bersemangat. Konsol game di tangan seperti sudah akrab ia genggam. Nyaman dan begitu menarik. Seumur hidup belum pernah ia melihat mainan secanggih itu.
Nabila tersenyum saat Reza melambaikan tangannya mengajak mendekat. "Tante Nabila juga boleh main. Nanti aku ajarin. Atau minta ajarin Om Surya, sudah jago, loh." Puji Reza.
Anak usia sepuluh tahun itu senang sekali berhasil mengajarkan hal baru ke orang lain. Meski sekadar permainan, itu sudah termasuk ilmu. Ada pahala di dalamnya, begitu yang sempat ia pelajari di TPQ tempatnya mengaji.
"Sudah malam, si kembar sudah tidur tadi."
"Mereka nggak kuat ngantuk, Tante. Gayanya saja yang digedein, tapi waktu kena bantal, langsung ngorok."
Sisa makanan dan susu kotak tercecer di atas karpet. Nabila memunguti sampah-sampah dan makanan yang masih tersisa. Reza sempat mengucapkan terima kasih. Dirinya sebenarnya akan membuang sampah-sampah itu nanti selepas mengemasi alat-alatnya.
"Keripikku jangan dibuang, sayang. Masih ada. Enak itu."
Tabung cukup panjang dengan penutup putih diujungnya ditepikan Nabila pada salah satu meja. Tepat di sebelah jajaran foto.
Lebih tepatnya di sebelah foto lama agak kecoklatan dari sebuah keluarga kecil. Potret itu menampilkan seorang bayi yang digendong perempuan muda. Di sisinya ada pemuda tinggi tampan dan satu remaja lagi sedikit lebih pendek dengan rambut ikal duduk di belakang si perempuan muda sambil mengangkat topi tinggi-tinggi. Tidak lupa ada sepasang orangtua berkebaya ikut berdiri di antata mereka.
"Ini, kan."
"Tante nggak kenapa-napa?" tanya Reza.
Surya ikut penasaran. Ia suka takut setiap istrinya terpaku pada sesuatu cukup lama. Nabila yang ia kenal sebagai istrinya ini punya kelebihan. Menurut Surya, Nabila punya indra ke enam alias bisa melihat hal-hal di luar nalar. Padahal, Nabila sendiri mengaku hanya jadi lebih peka beberapa minggu ini.
"Jangan aneh-aneh, sayang." Surya takut.
"Lihat itu," tunjuk Nabila.
"Kenapa ada foto kita?"
Surya tidak bisa berkata apa-apa. Satu lagi hal yang ia lihat terasa tidak mungkin. Ia kenal siapa saja di foto itu. "Apa saya sudah gila, ya?" gumam Surya.
"Reza, kamu bisa jelaskan siapa saja orang di foto ini?"
Pertanyaan Nabila seketika mengejutkan Reza. "Dari awal aku juga bingung, Tante. Kenapa Om dan Tante, Adek Radit juga bisa mirip dengan foto lama Papa." Jelasnya. Reza ikut mengamati foto tersebut lebih dekat.
"Papa? Ini foto Pak Radit?"
Reza mengangguk, "Itu, yang bayi. Digendong ibunya."
Tanpa ketiganya sadari, Radit baru saja menuruni tangga ingin meminta Reza untuk mengecek tugas sekolahnya. Tapi betapa terkejutnya jika Nabila dan Surya mulai menemukan foto lamanya. Belum lagi Reza seperti menjelaskan sesuatu. Itu bahaya.
"Itu orangtua Papa. Yang bawa topi itu kakek Sabda. Omnya Papa. Yang dua belakang aku nggak tahu. Tapi kata Mama itu kakek dan neneknya Papa."