Nabila tidak bisa tidur. Terus saja ia terusik dengan pikirannya yang semakin tidak berujung. Sesekali ia perhatikan rupa si kecil Radit. Wajah polosnya ketika tertidur tidak ubahnya malaikat yang begitu suci. Masa depannya masih sangat panjang. Banyak impian yang dulu sering ia buat semenjak mengetahui mengandung Radit kecil. Dirinya ingin putranya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Tahu dengan sopan santun dan tata krama. Menjunjung tinggi nilai agama dengan tahu siapa Tuhannya. Peduli pada orang sekelilingnya dan hal sempurna lain mungkin bisa dimiliki oleh makhluk bernama manusia.
Lalu dengan tiba-tiba, pria itu muncul. Bernama Radit, sama dengan putra kecilnya. Lepas dari semua keanehan itu, dunia yang kini ia pijak amat jauh lebih modern dari yang ia tahu. Kedatangannya beserta suami dan putranya ini menciptakan suatu kebahagiaan tersendiri. Entah apa itu, tapi Nabila merasa ia aman dan baik-baik saja dengan dia yang kini dipanggilnya Pak Raditya.
"Na—bila, kamu bangun?" Radit muncul dari ruang tamu, tepat saat Nabila keluar dari kamarnya. Radit selalu ragu setiap kali ingin memanggil dua orang itu.
Berpakaian rapi antara sarung dan baju koko yang ia pakai, Radit menanyakan kondisi Nabila. Ibu muda itu jelas linglung.
"Pak Radit? Dari sholat?" Tanyanya gugup.
"Ya, saya baru pulang dari jamaah di masjid. Em, sudah sholat atau—?" Sebenarnya tidak enak Radit menanyakan urusan ibadah kepada orang lain. Lancang saja urusan tanggung jawab umat dengan Tuhannya malah ia ikut campur.
Nabila menggeleng malu. "Saya tidak tahu tempat menyimpan mukenanya, Pak. Saya cari di lemari tempat cuci, adanya hanya handuk dan selimut." Jelasnya. Daripada tidak membawa apa-apa, Nabila mengambil segelas air dan berniat membawanya kembali ke kamar.
"Tidak mungkin juga kami menyimpan mukena di ruang cuci. Maaf, ya. Nanti biar saya minta Anggi ambilkan. Sekalian sarung atau sajadah untuk kalian. Surya, sudah bangun?" tanyanya ragu.
"Belum, Pak." Nabila mengamati sekeliling rumah yang begitu besar dan cantik. "Mas Surya bilang, dia senang dengan kamarnya. Dia bisa tidur nyenyak. Eh, benar tidur nyenyak sampai malas bangun. Terima kasih ya, Pak." Diutarakannya ungkapan terima kasih itu secara langsung.
Radit senang. Semua yang ia berikan bisa membuat orang lain nyaman. "Sama-sama. Kalau butuh sesuatu bilang saja, ya." Begitu respon Radit. Matahari masih belum terlihat. Langit juga masih gelap. Sepertinya di luar sana pun mendung. Lingkungan di beberapa sudut perumahan masih sepi pula. Tadi Radit hanya bertemu Pak Galih, tetangganya yang seorang dosen bersama putranya, Faiz, ikut sholat subuh di masjid seperti biasa. Sementara rumah sebelah kirinya masih tertutup rapat. Maklum, mereka tidak ada kewajiban yang sama untuk beribadah subuh.
Suara gumaman Anggi mengalihkan perhatian Radit. Ada Shanum juga digendongannya. Tumben, si bungsu terbangun saat langit masih gelap.
"Itu Papa." Bisiknya di telinga Shanum. Mukena yang masih terpasang sedikit menyulitkan langkahnya menuruni tangga.
"Eh. Tumben, Adek? Sini-sini!" Radit meminta estafet tubuh Shanum.
"Hampir saja, Mas. Aku kaget, dia bangun pas tahiyat akhir. Untung nggak ngegelundung." Cerita Anggi membuat Nabila dan Radit bergidik. Ranjang mereka cukup tinggi untuk ukuran tubuh Shanum. Bagaimana jadinya kalau memang Shanum terjatuh dari sana.
Di rumah itu sebenarnya Shanum sudah memiliki kamar sendiri. Namun jarang digunakan. Lebih sering anak itu akan tidur bersama orangtuanya di kamar utama. Di satu ranjang yang sama atau terpisah di ranjang bayi yang sengaja diletakkan di kamar Radit dan Anggi. Anak berusia empat belas bulan itu sudah sulit dikendalikan ketika tidur. Berputar ke segela arah dan tidak tahu halangan. Posisi kaki ada di atas bantal atau muka Radit saat bangun pun sudah biasa. Itulah Shanum.
"Ya Allah, Dek. Untung, ya. Sekarang mau kemana?"
Anggi mengambil alih sajadah dan peci Radit sebagai ganti Shanum yang dibawa suaminya menjauh. Shanum terus menunjuk arah pintu utama. Minta keluar, ucap Anggi tanpa suara kepada Nabila. Ia sendiri lega, untung saja Radit sudah sampai rumah. Jadi ada kesempatan untuk mengerjakan yang lain. Pakaian kotor sudah banyak yang menunggu.
"Oh, ya. Ini.. aduh, ada mukena sama sajadah? Sarung juga yang bersih buat Nabila sama Surya, Sayang? Biar bisa dibuat sholat."
Masih ada beberapa mukena atau sarung baru milik Radit yang Anggi simpan. Nabila diminta menunggu untuk diambilkan. Alhasil, Nabila memilih menikmati suasana pagi. Sambil ikut melihat keakraban Radit dan putrinya yang diajak berjalan-jalan keluar rumah.
"Jalan, ya. Satu tangan. Bisa?" Ajak Radit. Kaki gendut Shanum melangkah tidak karuan. Anak itu paling senang kalau sudah dituntun berjalan. Kurang afdhol kalau tidak pakai teriak. Shanum mencak-mencak kegirangan. Raditlah yang akhirnya kualahan. Badannya yang tinggi harus membungkuk mengimbangi. Belum lagi ia masih bersarung. Sempurna sudah penderitaan Radit.
"Jangan teriak-teriak, Dek. Nanti Om Steven bangun, loh. Ayo, balik." Ajak Radit. Memutar badan si bungsu untuk berjalan berlain arah.
"Biar sama saya saja, Pak. Sambil menunggu Bu Anggi cari mukenanya."
Bagaikan mendapat tabung oksigen penuh, Radit dengan senang hati menyerahkan Shanum untuk diajak berjalan dengan Nabila. "Hati-hati, ya. Ini anak nggak punya capek." Radit memperingatkan. "Aduh, sepertinya Saya butuh ngegym lagi, nih. Gampang enggap." Keluhnya. Usia memang tidak bisa dibohongi.
"Namanya juga anak-anak, Pak. Radit juga begitu." Nabila diam sejenak. Di diri Radit ada yang meletup juga. "Maksudnya Radit putra saya, Pak. Polah tingkahnya minta ampun."
Tanpa menunggu, Nabila memilih menuntun Shanum berjalan di area depan rumah. Lalu mengikuti arah berbeda di mana sebelumnya Radit mengalihkan Shanum. Pasalnya, di arah sebelumnya adalah rumah Steven, seorang bankir sibuk yang masih melajang. Suka pulang malam dan paling benci jika ia diganggu saat pagi. Sudah jelas, Steven masih tidur.
Sementara di sebelah lainnya, Radit mengatakan cukup aman. Rumah keluarga Pak Galih sama sejuknya. Banyak pepohonan dan tanaman yang indah. Toh, Pak Galih sendiri suka berkonsultasi dengan Radit ataupun Anggi untuk masalah tanaman. Jika dilihat, banyak tanaman mereka sama.
"Sasa? Lagi jalan-jalan, ya."
Seorang pemuda berbaju koko corak kelabu dan celana hitam menyapa ramah. Nabila merasa Shanumlah yang dipanggil. Mencoba sopan, ia mengantikan Shanum untuk balas menyapa.
"Iya, Om. Adek Sasa mau jalan-jalan." Ujar Nabila. Ia mengajak Shanum menepi. Diajak masuk ke area halaman rumah tetangganya.
"Em, kamu keluarganya Pak Radit, ya? Nggak pernah tahu, tuh."
Dia adalah orang asing pertama yang menanyai jati dirinya. "Sa—saya, saya sepupu jauhnya Pak Radit. Sedang berkunjung di sini." Ceritanya. Satu harapan Nabila, penjelasannya tadi terdengar masuk akal.
"Pantes. Oh, kenalin. Saya Faiz. Saya tinggal di sini. Pas di sebelah rumah Pak Radit. Si Reza, Aby, Uqy, sama Sasa sudah biasa kok main ke sini. Mereka suka panggil Mas Faiz kalau mau ajak main." Penegasan tepat saat ia mengatakan nama panggilannya. "Bukan Om Faiz." Jelasnya sekali lagi.
"Astaga, saya minta maaf, Mas Faiz."
"Haha. Santai aja kali." Faiz mendekat. Malu-malu meski pandangannya belum bisa lepas dari wajah Nabila. "Kalau boleh tahu, nih. Kamu masih sekolah, kuliah, atau sudah lulus?"
Nabila berpikir sejenak. Tangannya gemetar. Tidak pernah terpikirkan akan secepat ini bertemu dengan orang lain dan mencari tahu tentang dirinya. "Em, saya sudah—"
"Is, jas hujan Ayah ditaruh mana, ya? Yang kemarin dijemur."
Faiz dan Nabila bersamaan menoleh. "Di tumpukan sebelah gudang, Yah. Aku yang lipat. Kebiasaan sih, lupa diambil kalau sudah kering." Omel Faiz.
"Ada tamu? Eh, si Shanum. Main apa, Dek? Sini ikut kakek. Sama siapa kamu? Papa mana?"
"Bukan, Yah. Ini sama tantenya." Tunjuk Faiz ke Nabila.
Jauh di dalam ingatannya. Pak Galih tidak percaya dengan apa yang saat ini ia lihat. Wanita muda itu berdiri dengan sedikit canggung. Meremas tangannya ketakutan. Badannya bergetar. Pak Galih tidak salah lihat, wanita muda itu gemetar hebat. Napasnya bahkan naik turun kentara sekali.
"Na—bila. Itu kamu?"
Berdirilah Pak Galih. Menggendong tubuh Shanum yang kini merengek seperti meminta sesuatu. Tanggannya meraih-raih Nabila seperti meminta tolong. "Nab?" Panggil Pak Galih amat sangat yakin.
"Ayah kenal? Atau dengar waktu kami tadi kenalan? Namanya Nabila." Faiz memberi jarak agar Ayahnya bisa lebih dekat. "Ini sepupunya Pak Radit. Katanya lagi berkunjung." Jelasnya.
"Kenapa bisa? Nabila, kenapa kamu—"
Tiba-tiba panggilan Anggi memecah. "Loh, di sini ternyata. Nabila, mukenanya sudah ada. Nanti keburu mataharinya naik, loh." Panggilan tadi membantu Nabila untuk melepaskan diri dari cecaran pertanyaan Galih. Tubuhnya cepat berbalik dan meminta izin untuk kembali pulang.
"Permisi," pamitnya meski Pak Galih masih terus memanggil. Tinggallah Anggi, Faiz, Pak Galih, dan Shanum.
"Ayah kenapa? Pucat banget?" Faiz khawatir.
Karena merasa tidak enak, Shanum segera diambil alih oleh Anggi. Ia meminta maaf jika sikap Nabila tidak sopan tadi. Tidak enak bukan subuh-subuh membuat keributan.
"Maaf, Pak Galih. Faiz. Dia agak pemalu kalau bertemu orang baru. Mari, Pak, Faiz. Saya pulang dulu. Ini Sasa kayaknya masih ngantuk."
Dan pergilah Anggi membawa Shanum kembali. Perasaan Anggi tidak enak. Ia melihatnya sendiri bagaimana bahasa tubuh Pak Galih tadi ketika bertemu dengan Nabila. Raut wajah yang seketika memucat, suara yang bergetar. Bahkan jika tidak salah lihat, mata Pak Galih sampai berkaca-kaca.
"Kenapa Pak Galih sampai seperti itu saat melihat Nabila?"
Sepertinya Anggi harus mencari tahu. Sekembalinya di rumah, Anggi langsung menuju ke lantai dua. Ada Reza yang baru keluar dari kamarnya. "Abang ditinggal Papa lagi ya, Ma?" Tanyanya. Matanya yang sedikit sipit makin hilang akibat baru terbangun dari tidurnya.
"Papa pulang sudah dari tadi, Bang. Kamu tadi dibangunin susah banget. Tidur jam berapa semalam?"
Reza menunduk takut. Sampai akhirnya ia menjawab, "Jam setengah satu, Ma." Katanya.
"Abang cari materi buat tugas, Ma. Bu Hanna minta cari contoh video iklan." Lanjutnya sebelum Anggi siap memarahinya. Reza saat ini sudah masuk di kelas lima sekolah dasar. Seminggu ini ia sedang libur. Sekolahnya sedang mengadakan Ujian Sekolah untuk siswa kelas enam. Meski diliburkan, masih ada tugas mandiri yang sesekali diberikan oleh sang wali kelas untuk tambahan nilai.
"Tema sembilan masih ada materi iklan, Bang?" Pertanyaan Anggi bernada tidak percaya. Satu hal yang paling tidak ia sukai dari anak-anaknya adalah bohong.
"Masih, kok. Nanti Abang lihatkan di buku interaktif." Reza langsung bersuara.
"Abang enggak bohongi Mama, kan?" Reza benar-benar ketakutan. Mama angkatnya itu benar tidak percaya dengan penuturannya. Reza paham, peraturan di rumah untuk dirinya paling krusial selalu berhubungan dengan gawai. Entah ponsel, laptop, atau komputer. Semuanya ada batasan. Fasilitas yang tidak main-main didapat harus ada tanggung jawabnya. Reza sendiri adalah tipikal anak yang suka sekali dengan hal baru. Di sekolah, ia ikut dalam klub robotik. Masalah pergadgetan jangan diragukan lagi meski usianya masih di angka sepuluh tahun.
Pernah suatu hari, Reza mencoba tautan yang dikirimkan temannya. Isinya adalah tautan ke situs dewasa. Anggilah yang mengetahuinya dari riwayat website di komputer pribadi di kamar Reza. Saat itu ia meminjam komputer untuk urusan bisnis minimarketnya. Reza mengaku tidak membukanya lebih jauh. Ia tahu batas. Beruntung, situs itu tidak bisa diakses tanpa bantuan VPN atau hal semacamnya.
Anggi dan Radit marah besar. Sejak saat itu, urusan gadget Reza terus dipantau oleh keduanya. Beberapa akses bahkan bisa dipantau jarak jauh. Semua jejak daringnya akan bisa dilacak.
"Mama bisa cek di laptop Abang. Semalam Abang pakai laptop."
Reza sudah jujur apa adanya. Anggi juga merasa kasihan dengan Reza yang terus memohon meminta maaf. "Jangan diulangi lagi, ya. Kalau sudah malam istirahat. Kalau susah, bisa bilang ke Mama atau Papa. Nanti dibantu. Terakhir dikumpulkan kapan?" Tanyanya.
"Senin pas masuk sekolah, Ma. Di print out buat laporannya, videonya dimasukkan flasdisk."
"Masih ada banyak waktu. Nanti Mama bantu. Abang sudah sholat? Kalau belum sholat dulu. Keburu terang."
Reza mengangguk dan kembali ke kamarnya. Begitu juga Anggi. Ia menyempatkan melihat si kembar di kamarnya. Aby dan Uqy masih tidur pulas di ranjang masing-masing. Beres. Nanti saat sekitar satu jam lagi ia akan kembali membangunkan. Untuk saat ini, urusannya dengan Shanum. Anak perempuan itu terus menggeliat meminta sesuatu.
"Iya, ayo nen di kamar." Ajaknya.
Radit rupanya ada di kamar. Sibuk memilah beberapa dokumen di atas ranjang. "Mas, tolong benerin bantalnya buat nyender." Pintanya.
"Ih, habis joging langsung sarapan. Dasar micin." Olok Radit kepada putrinya. Ada satu pukulan mendarat di lengan Radit dari Anggi. Benci sekali ia setiap suaminya menyamakan putrinya seperti MSG karena namanya.
Radit sudah hapal setiap sang istri sudah memintanya menatakan bantal yang berarti waktunya menyusui.
"Duduk dulu. Ini susah, Dek. Mama pakai kaos, nih."
Shanum tetap tidak mau dilepas. Badan gembulnya terus menerjang Anggi. Takut andai saja ia dibohongi oleh sang Mama. Anggi coba menaikkan bajunya sebelah kiri demi memberi akses untuk Shanum. Sudah biasa separuh telanjang asal di kamar dan cukup suaminya saja di sana.
"Saya nanti pulangnya setelah Jumatan. Saya masih di kantor diknas buat urus berkas sekolah."
Satu acungan jempol Anggi berikan. "Mau dimasakin apa, Mas? Aku nggak terima masak terserah, ya. Nggak ada bumbunya."
Radit tercekat dengan serangan Anggi. "Iya, sayang. Saya ada permintaan, kok. Tenang saja. Saya nemu ide ini dari referensinya Pak Yanto." Alisnya naik tanda senang.
"Mau makan aja cari referensi. Mau bikin proposal?"
Semua dokumen sudah masuk tas. Urusan pekerjaan yang dibutuhkan hari ini rampung lebih cepat dari bayangannya. "Tapi kamu jangan marah ya, Sayang?" Radit dalam mode merayu. Posisinya sudah berbaring miring menghadap sang istri yang sibuk menepuki pantat Shanum.
"Dek, permintaan Papa kayaknya berbahaya." Anggi berlaga mengajak berdiskusi si kecil.
"Bukan bom, Sayang. Tapi.. sebentar," dikeluarkannya ponselnya. Mencari salah satu unggahan Pak Yanto di aplikasi perpesanan. Video singkat yang diunggahnya tidak lebih dari tiga puluh detik. Anggi melihatnya sinis. Benar tebakannya, permintaan suaminya sangat berbahaya.
"Sudah lama, loh. Tadi saya sempat tanya ke Pak Yanto kalau katanya di pasar lagi banyak yang jual. Kayak bunyi hukum permintaan, barangnya banyak berarti harganya turun."