Sementara untuk Kembali

Sifah Nur
Chapter #4

4. Kejutan

"Ini bagaimana, sih? Sudah banyak yang berangkat, loh. Masjidnya sudah ngaji."

Bude marah-marah dengan tangan terus merapikan pakaian Uqy yang terus saja salah posisi. Mau bagaimana lagi, tingkah anak itu susah sekali diatur. Sedangkan Reza membantu Aby memasang pecinya. Untuk Pak Sugeng, ia baru keluar dari kamar mandi. Siap dengan peci yang sengaja dibawa dari rumah. Wajahnya lebih segar selepas mengambil wudhu.

"Nunggu Pak Radit dulu, Bude," sahut Pak Sugeng.

Di area keluarga, Surya sudah siap dengan peci dan sarung. Baju koko barunya pas dengan meninggalkan aroma khas plastik baru toko. Surya sama sekali tidak masalah dengan itu.

Sambil menunggu, Surya mengajak putranya dan Shanum bernyanyi sambil berjoget seperti lagu di layar televisi. Liriknya bahasa Inggris menyebabkan Surya hanya bisa bergumam menirukan nadanya saja. Sesekali ia juga mengecek kesiapan para laki-laki. Waktu sholat Jumat semakin dekat. Tapi mereka tidak kunjung berangkat. Alasannya, sang kepala rumah tangga belum terlihat batang hidungnya sejak 45 menit yang lalu.

"Sudah siap semua?"

Itu dia. Suara itu diikuti dengan aroma parfum maskulin yang tercium mewah. Parfum itulah kesukaan Anggi.

"Seger banget, Pak?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Pak Sugeng, "happy begitu wajahnya. Auranya beda," imbuhnya.

Penasaran, Surya ikut mendekat. Dirinya seketika mendapat kedipan dari Pak Sugeng.

"Habis mandi, keramas. Seger." Surya ikut berkomentar.

"Ya, saya sebisa mungkin mandi setiap mau Jumatan. Biar bersih. Kan, ada hadistnya. Mandi besar di hari Jumat. Supaya bersih dan suci."

"Tuh, kan!" sorak Surya dan Pak Sugeng bersamaan.

"Dengar Eja? Mandi! Besar!"

Reza yang dituju hanya bisa melongo. Tidak paham kehebohan yang menurutnya itu hal biasa.

"Kenapa, sih? Kan, bagusnya mandi. Kayak Papa. Aku juga mandi lagi," sahut Reza mendukung Papanya.

"Pinter anak Papa. Sudah, tambah telat nanti."

"Eh, sebentar," Nabila memanggil, "Bu Anggi mana ya, Pak?"

Radit menyembunyikan senyumnya sembari menilik ke area atas. Tepat di lantai dua arah kamar utama.

"Masih di kamar sepertinya. Mungkin sebentar lagi turun. Sudah, ya. Kami berangkat dulu. Itu TVnya nanti dimatikan. Sudah lama mereka nontonnya. Assalamualaikum," pamitnya. Enam laki-laki itu pun berlalu pergi. Saling menyapa beberapa tetangga yang lewat dengan tujuan sama, ke masjid.

"Di kamar dari tadi?" gumam Nabila. Sisi tempe yang ia goreng langsung dibalik. Pekerjaan dapur tinggal menggoreng saja. Cucian piring kotor tinggal sebagian saja. Bude sudah siap mencucinya setelah selesai memotongi timun.

Sambil tertawa, Bude berseloroh. "Habis tugas negara, Bil. Wajib itu."

"Tugas negara?"

"Ya ampun polosnya ini anak. Begini ya, pegang omongan Bude. Nanti lihat, Bu Anggi segernya seperti apa. Rambut lembab-lembab baru kering. Wangi. Cantik paripurna. " Lenggokan badannya seirama dengan suara manja yang ia buat.

"Maksud Bude—Bu Anggi tadi sama Pak Radit. Anu, aduh."

"Nggak usah diperjelas," sekeping irisan timun masuk ke mulutnya, "nanti Bude kebayang-bayang."

"Kebayang apa?"

Anggi datang. Bajunya telah ganti. Dan yang paling menarik adalah apa yang sejak tadi digambarkan oleh Bude persis terjadi. Nabila sampai menoleh meminta penjelasan dari Bude. Ia hanya mendapat kedipan satu mata dan perintah melanjutkan menggoreng.

"Enggak, Bu. Ini loh kebayang masakannya Nabila. Aromanya enak banget," tutur Bude mengalihkan perhatian.

"Pakai kemangi jadi harum."

"Aduh, maaf. Sampai matang semua lagi. Ini ada yang bisa dibantuin gitu? Saya bantuin, ya," pinta Anggi. Ia melihat Nabila sisa menggoreng beberapa tempe. Semua tahu sudah siap. Matang sempurna.

"Jangan, Bu. Ibu nanti capek. Sudah bersih semua. Nanti kena minyak panas, keringetan lagi. Ya kan, Nabila?"

"I—iya, Bu." Nabila ikut menahan tawa. Bude sudah keterlaluan batinnya.

"Ini sudah mau selesai," imbuh Nabila. Empat potong tempe bermarinasi air garam dan bawang siap dimasukkan ke minyak panas.

Sikap kedua orang itu membuat Anggi merasa semakin tidak enak. Dirinya tahu sedang disindir habis-habisan.

"Maaf, ya. Takut durhaka." Pasrah juga. Begitu jawaban Anggi. Kini yang ia lakukan adalah menyiapkan makanan untuk dua balitanya. Misi mencobakan daging rajungan akan ia lakukan nanti. Tapi sebagai jaga-jaga, ada makanan lain yang akan ia siapkan. Kentang tumbuk kacang polong dan ayam kampung di dalam kulkas akan dipanaskan sebentar di microwave.

"Sudah tugas istri, Bu. Tapi pas, kok. Tadi nggak telat Jumatannya. Dulu suami saya malah nggak Jumatan, langsung ketiduran. Staminanya Bapak bagus, Bu. Hebat." Bude langsung menahan tawanya.

Nabila hanya bisa meringis dalam diamnya. Meski sudah menikah, rasanya malu juga membahas masalah pasangan dengan orang lain.

Perbincangan perlahan mulai cair. Anggi pun perlahan mulai terbuka. "Pikiran saya itu, nanti Mas Radit ngadu langsung pas di masjid. Waktu doa bilang, ya Allah kepala saya pusing. Istri saya nggak mau diajak nyicil kado." Lalu dilanjutkan dengan suara desahan perlahan.

"Jadi istri durhaka saya."

Mereka yang mendengar sudah tidak kuat untuk menahan tawanya. Nabila sampai terkikik dan berkaca-kaca.

"Jumat berkah, Bu. Akhirnya, malah dapat pahala, kan?" Balas Bude. Cuciannya sudah selesai. Bekas adonan tempe Nabila juga sudah ia cuci.

Anggi geli juga mengingatnya.

"Malu banget. Kenapa jadi ngomonin ini, sih? Sasa sama Radit mana? Ayo makan, Sayang!" teriaknya.

"Santai, Bu. Nggak ada anak perawan di sini. Cuma Adek Sasa doang."

Anggi menghampiri dua balita itu. Video lagu anak-anak yang terus bergantian dimatikan oleh Anggi. "Cocomelon selesai, waktunya makan." Ajak Anggi.

Pagar plastik yang mengitari area bermain Shanum dan Radit kecil dibuka. Bergegas mereka keluar setelah melihat kedatangan Anggi. Radit kecil pun ikut senang.

"Maem, ya. Coba rajungan, enak." Anggi mengajak Radit lebih dulu menghampiri Nabila.

Shanum berbeda. Gadis cilik itu merengek di tubuh ibunya. Wajahnya ditekan sesekali di dada Anggi. Kalau tidak dihiraukan, Shanum akan menepukkan tangannya langsung tepat ke payudaranya.

"Nenen? Sudah siang. Makan saja, ya."

Shanum menolak, "Kamu juga dari tadi belum nyusu juga, sih. Ya sudah, yuk. Iya, jangan nangis, Sayang." Ajaknya untuk duduk di sofa. Mangkuk di dalam microwave ia minta untuk dikeluarkan. Nabila juga dipersilakan mengambil secukupnya untuk makan Radit kecil. Beberapa daging rajungan kupas yang direbus dengan sedikit garam juga disiapkan. Barangkali putranya suka.

"Yang punya Adek Sasa, saya taruh sini ya, Bu." Bude ikut membantu Nabila.

"Iya, terima kasih. Nanti kalau habis nyusu coba saya kasihkan."

Tepat saat dirinya siap, Anggi mulai teringat sesuatu, "Eh, yakin? Adek mau nenen? Makan saja, ya," ajaknya. Anggi merasa jika menyusui Shanum kali ini adalah sebuah kesalahan.

Shanum terus memaksa.

"Mama sudah bilang, ya. Kalau nggak mau jangan nangis."

Dari arah dapur Nabila mendengarnya sedikit bingung. Kenapa harus begitu? Apakah Shanum sudah akan disapih untuk tidak menyusu lagi? Tapi usianya belum dua tahun juga.

Bude ikut penasaran. Mangkuk makan Shanum sudah ia siapkan. Hangat dan rasanya sudah pas. Mereka ikut melihat Shanum yang bersiap menyusu. Anggi mencoba membuka kancing atas bajunya. Selimut kecil yang tersampir di sandaran sofa ia gunakan untuk menutupi pundaknya yang terbuka. Anehnya, tepat saat Shanum menyesap yang ia cari di tubuh ibunya, Shanum sontak menangis dan menolak. Payudara Anggi jadi sasaran pukulnya.

"Tuh, kan. Mama itu sudah mandi, loh. Sudah bersih. Masa masih berasa sih, Dek?"

Kekesalan Anggi terjadi sudah. Shanum tidak mau. Ia meronta tidak mau dipangku. Tubuh kecilnya melorot tidak mau. Menangis sambil tangannya mengayun-ayun meminta tolong. Radit kecil sudah bersama Nabila. Budelah yang akhirnya datang menjadi penolongnya.

Tangan Anggi bergegas kembali memperbaiki kancing bajunya. Bahaya jika tiba-tiba ada tamu yang datang.

"Makan saja, lah." Anggi mengambil makanan Shanum di dapur. Di sana Radit kecil sibuk menggigit daging rajungan yang coba diberikan oleh Nabila. 

"Radit suka sekali, Bu." Tuturnya dengan wajah berbinar. Khas ibu-ibu bangga dengan buah hatinya.

"Iya, dia suka banget itu. Semoga nggak alergi, ya. Eh, tapi kan Mas Ra ...," Anggi lupa jika suaminya sangat amat menyukai daging rajungan. Andai keduanya sama, Radit kecil tidak akan terjadi apa-apa.

Suara teriakan Shanum masih menggelegar. Para orang dewasa ikut panik dibuatnya. Sementara si Radit kecil, tidak ada yang bisa mengusiknya dengan daging rajungan di mangkuknya.

"Itu Adek Sasa kenapa ya, Bu? Nangisnya sampai begitu. Sudah selesai menyusunya?"

"Hah," Anggi mendesah pasrah. Mungkin kalau sudah lelah, Shanum akan sedikit lebih tenang, "Sasa tahu kalau sudah bekas orang lain." 

"Bekas orang lain?" Nabila tidak mengerti sama sekali.

Apa urusannya menyusui dengan bekas orang lain?

Lihat selengkapnya