Sementara untuk Kembali

Sifah Nur
Chapter #5

5. Malam itu

Banyak siswa kelas 12 hampir memenuhi area hall sekolah. Lima wakil kampus dari salah satu universitas tempat Pak Galih mengajar akhirnya datang ke sekolah Radit. Pak Galih berbincang dengan Bu Perlita memberikan arahan pertemuan mereka hari ini. Anak-anak yang belum memiliki tujuan tempat pendidikan lanjutannya mulai tertarik dengan dibaginya beberapa pamflet profil kampus. Tiga wakil mahasiswa yang ditunjuk juga cakap dengan cara mereka mempromosikan kampusnya. Tentu saja dengan jurusan yang mereka ambil.

Radit ikut datang. Dirinya menyempatkan membuka acara dalam sambutan singkatnya. Meski tidak banyak terlibat, Radit masih asik mengamati keseruan para siswanya di sana. Sampai pada satu titik Radit mulai penasaran.

Area belakang hall.

"Bagaimana mereka bisa sampai di sini?" 

Pertanyaan itu yang terus diulang. Radit tidak bisa membayangkan. Tiga orang tiba-tiba datang di salah satu sudut yang mustahil dimasuki. Taman di sana tidak terlalu luas. Dikelilingi pagar dengan perbatasan langsung ke sebuah kantor bank simpan pinjam. Sama sekali tidak ada akses masuk.

Di sana rupanya ada Pak Yanto. Beliau sibuk membenarkan salah satu area taman yang rusak akibat akar pohon yang naik.

"Dibetulkan lagi juga pasti tanahnya naik, Pak. Akarnya masih terus tumbuh," ungkap Radit. Kalau diamati jelas, memang beberapa bagian akar menyembul keluar. Sampai-sampai sebagian paving harus dikorbankan pecah. Sayang sekali.

"Padahal pohon tua loh ini, Pak. Sudah puluhan tahun."

Pak Yanto menunjuk pohon yang dimaksud.

"Bapak tahu daerah sini?"

Tangan Pak Yanto menunjuk area sekitar tempat mereka berdiri hingga ke kantor seberang.

"Dulu ini tempat pembuangan sampah. Tahun 90an direlokasi ke daerah selatan, dekatnya pasar sapi. Tahu kan, Pak? Dulunya di sini. Kena pemda, jadi dibangun area perkantoran," jelas Pak Yanto. Dirinya pun mengaku, almarhum kakeknya pernah jadi pemulung di area pembuangan sampah tempo dulu. 

"Pohon ini yang sepertinya tersisa. Saya ingat betul, Pak. Satu-satunya yang berdiri di area pembuangan sampah itu ya pohon ini. Sampai pernah disambar petir, ada rongga di sela-selanya itu sepertinya bekasnya dulu tersambar."

Radit mendekat ingin melihatnya sendiri. Benar, memang ada rongga. Seperti terbelah. Besarnya hanya seluas badan orang dewasa. Siapa pun tidak akan tahu tanpa mereka mendekat terlebih dulu. Apalagi ada beberapa tanaman hias tertata di sana.

"Pak Yanto," Radit kembali berbalik berharap ada cerita lain tentang tempat itu dari Pak Yanto, "Bapak berarti masih ingat cerita-cerita di sini, ya?" tanyanya.

Pak Yanto sepertinya bisa membantunya menguak sejarah daerah itu di masa lalu.

"Dibilang tahu, saya tahu. Tapi juga tidak banyak, Pak. Rumah saya agak jauh dulu."

Pak Yanto berusaha berpikir, "dulu ada yang bilang, ini zaman saya SMP ya, Pak. Saya ingat kalau entah di sebelah mana, ada yang nunggu," Pak Yanto meringis.

"Nunggu?"

"Yang nunggu. Banyak orang tua yang datang buat minta nomor togel."

"Hah?"

Suara anak-anak semakin ramai terdengar. Tepuk tangan ikut bergemuruh di dalam. Sepertinya acara sudah selesai. Tidak terasa, Radit hampir setengah jam berada di sana.

"Pak Radit," panggil Bu Perlita. Guru berparas manis dengan rambut berombaknya menyapa dengan sangat sopan.

"Ah, Bu Lita. Pak Galih. Sudah selesai semua?" Radit menyempatkan pamit kepada Pak Yanto. 

"Sudah, Pak. Anak-anak juga sudah kembali ke kelas masing-masing," ujar Bu Perlita. Mereka ikut kembali. Urusan hall akan dibereskan oleh Pak Yanto. Dengan senang hati, Pak Yanto berjanji akan mengurusnya setelah membereskan beberapa puing pecahan paving taman.

"Alhamdulillah, acara berjalan lancar. Ada beberapa siswa yang sepertinya juga tertarik dengan program jurusannya," Pak Galih menerangkan.

Iringan para orang dewasa diikuti tiga mahasiswa berjas almamater di belakangnya, "banyak yang tertarik juga sama Akil, Pak," seloroh salah satu mahasiswa. Akil yang disebut hanya meringis malu.

Pak Galih menepuk pundak Akil, mahasiswa semester lima dengan wajah kebule-bulean, begitu julukannya. "Maklum, Pak. Produk blesteran. Idolanya banyak. Bukan begitu, Kil?" tukas Pak Galih.

"Oh, pantas. Yang dari Indo siapa?" Radit ikut penasaran. Basa-basi sambil menuju ruang kepala sekolah.

"Ibu saya, Pak. Papa yang dari Belanda, "jawab Akil.

"Kompeni," timpal temannya yang lain langsung mendapat pukulan dari Pak Budi, salah satu dosen pendamping juga.

Mereka sampai di ruang kepala sekolah. Sejenak saling berbincang perihal penerimaan mahasiswa baru. Diberikan juga tawaran beasiswa bagi calon mahasiswa yang memiliki prestasi. Pak Galih juga memberikan keistimewaan bagi sekolah Radit untuk mendapatkan prioritas kuota cukup banyak bagi calon penerima beasiswa. 

"Sepertinya sudah siang, mungkin kita bisa langsung ke kantin, ya. Kita makan siang dulu. Silakan, rekan-rekan mahasiswa sekalian, Bapak-bapak juga. Apapun bisa dipesan di sana. Kantin kami sudah seperti food court di mall. Lengkap. Jangan sungkan-sungkan. Bu Lita, bisa minta tolong dibantu arahkan. Saya sudah infokan ke pihak kantin kalau ada tamu yang akan berkunjung."

Titah Radit langsung dilaksanakan oleh Bu Perlita. Lima orang segera bergerak menuju kantin. Kecuali Pak Galih.

"Pak Radit, bisa bicara sebentar," pintanya.

Perasaan Radit tidak enak, "ya, Pak Galih. Bagaimana?" tanyanya.

"Ini di luar urusan kampus. Saya," Pak Galih ragu, tapi dirinya ingin segera membahasnya, "saya ingin menanyakan tentang keluarga Pak Radit yang sekarang ada di rumah. Benar itu keluarga Pak Radit?" tanyanya. Suara Pak Galih terdengar bergetar. Tampak serius sekali.

Radit tidak siap dengan pertanyaan itu. Kondisinya sedang di sekolah. Semuanya serba mendadak dan posisinya kini tidak dalam memikirkan perihal Surya dan Nabila. 

"Iya, Pak. Mereka sepupu jauh saya. Ada apa, ya?" hanya itu yang dipersiapkan.

"Begini," Pak Galih mulai siap menjelaskan.

Bip bip! Ponsel Radit berbunyi. Panggilan dari Reza masuk.

"Assalamualaikum, Bang," sapanya.

"Waalaikumsalam, Papa. Pa, jadi jemput aku?" 

Sontak Radit melihat jam di tangan kirinya. Setengah satu siang, jam Reza pulang. Bahkan lebih lima menit, "Abang sudah di luar?" Radit panik. Pak Galih ikut terlihat takut dan penasaran dengan Radit. Panggilan yang disebut Radit bisa membuatnya tahu kalau orang yang menelepon adalah Reza, putra Radit.

Reza terus menjelaskan sedangkan Radit terus mengatakan iya dan minta maaf. Radit mengatakan jika ada tamu di sekolah hingga membuatnya lupa untuk menjemput.

"Nggak perlu ikut Mamanya Bagas. Papa habis ini langsung jemput. Jangan ke mana-mana ya, Bang," pinta Radit lantas mengakhiri sambungannya.

"Reza, Pak? Ada masalah?"

"Oh, iya. Reza sudah pulang sekolah. Saya lupa. Mohon izin pamit dulu. Kasihan kalau kelamaan nunggu. Nanti saya kembali lagi, Pak. Permisi."

Pak Galih menyerah. Setidaknya masih ada waktu untuk menanyakannya lagi. Ia membiarkan Radit pamit untuk menjemput Reza terlebih dulu dan berharap ada kesempatan untuk membahasnya di waktu nanti.

***

Radit membukakan pintu untuk Reza. Tas Reza diminta untuk ditinggal saja di bangku belakang. Hanya ponsel saja yang diperbolehkan untuk dibawa. Reza tetap diajak di sekolah Radit. Lebih dekat di sana dibandingkan untuk pulang lebih dulu. Toh, hanya ada Bude di rumah.

"Nanti habis makan, bisa ke perpus atau main di kantor Papa. Pulangnya nunggu jam sekolah selesai, ya. Semoga sebelum Ashar sudah sampai rumah."

"OK, Pa. Aku boleh minta boba?" Reza melirik Papanya takut-takut.

Reza mengedipkan mata sipitnya memohon, "boleh, asal jangan bilang Mama," Radit ikut tertawa. Satu usapan berhasil mengacak rambut tebal Reza.

Senang bukan main, Reza langsung berlari menuju kantin yang sudah ia hapal setiap main ke sana. Bahkan para penjaga stand makanan sangat kenal dengan Reza. Anak yang ramah dan ceria. Mereka juga suka sekali dibantu. Pernah, Reza saat berada di sana pada jam istirahat. Reza dengan senang hati menjadi pengantar makanan ke meja-meja. 

Meski anak kepala sekolah, Reza tidak mau dibedakan. Ia hanya mau membantu. Setiap diberi makanan percuma pun Reza akan memaksa untuk tetap membayar atau meminta catatan agar nantinya diserahkan ke Radit.

"Loh, ada Kakek?" Reza menyalami tangan Pak Galih dan juga Pak Budi. Keduanya sedang menikmati nasi campurnya. 

"Ikut Papa?" tanya Pak Galih.

Reza menujuk arah Papanya datang.

"Dijemput langsung ke sini. Kata Papa, Mama masih di rumah sakit, belum pulang. Ikut Papa saja." Reza melihat ke arah stand minuman boba yang ia incar sejak tadi. Mumpung sepi, Reza pamit untuk memesan makanan.

"Putranya Pak Radit?" tanya Pak Budi, "kok beda, ya? Maaf bukan bermaksud. Apa mirip mamanya mungkin, ya?"

"Reza memang putranya Pak Radit, tapi anak angkat, yatim piatu. Sudah sejak bayi diadopsi."

Pak Budi mengangguk-angguk paham. Sampai akhirnya Radit datang, "maaf lama," serunya.

"Tadi Reza bilang Mamanya di rumah sakit? Siapa yang sakit, Pak Radit?" Pak Galih sudah menyelesaikan makanannya. Pak Budi ikut mengemasi dan meletakkan di meja sebelah. Seorang karyawanan segera mengambil piring kotor dan membawanya ke belakang. 

"Bukan, itu Mamanya anak-anak ke rumah sakit antar si bungsu imunisasi tambahan. Jadwalnya hari ini ketemu dokternya," jelas Radit.

Es teh pesanannya datang.

"Imunisasi apa lagi, Pak? Setahun lebih setahu saya si Shanum itu."

"Rota-rota apa begitu namanya, saya lupa. Rotavirus atau... entah, lupa saya. Banyak sekali itu imunisasinya. Sampai kasihan kalau setiap antar lihat mereka nangis disuntik lengannya atau pahanya waktu bayi dulu," Radit bergidik ngeri. Dirinya sering menyerah setiap diajak mengantar anak-anak imunisasi.

Shanum biasanya memang tidak sering panas. Obat yang diberikan menurut penjelasan dokter menggunakan yang terbaik dan tidak menimbulkan efek samping.

Pak Budi ikut berkata, "padahal anak-anak zaman dulu itu imunisasi cuma beberapa saja. Sembilan bulan selesai. Sekarang, sudah pada sekolah masih saja disuntiki."

Ketiga pria itu larut dalam perbincangan yang terus berubah topik.

"Sekarang penyakit aneh-aneh, Pak. Bentengnya juga perlu ikut kuat. Jangan sampai kena penyakit parah waktu dewasa. Usia nggak ada yang tahu," balas Radit disetujui Pak Galih.

Di bangku lain, Reza begitu bahagia dengan segelas boba besar dengan sedotan menancap di atasnya, "makan juga, Bang?" Radit harus mendekat sebab Reza menolak makan berat.

"Roti bakar saja udah, Pa," protes Reza.

"No. Nasi, Bang. Nanti kalau pulang kesorean jamnya tabrakan sama ngaji, nggak ada waktu makan."

Pipi dingin Reza ditepuk dua kali oleh Radit. Salah satu karyawan kedai diberi isyarat agar membuat nasi goreng untuk Reza. 

Reza akhirnya mau dan mengalah. Bahkan ia minta untuk dibuatkan nugget goreng sebagai lauknya.

"Nanti diambil ke Mbak Putri. Minta saja apa yang mau dimakan juga. Yang penting kenyang," pinta Radit. Ia pamit untuk kembali bersama para tamunya.

Pak Budi dan Pak Galih melihat keakraban Radit dan Reza. Ciuman yang diberi Radit di kepala putranya bahkan membuat Pak Budi iri.

"Anak saya sudah gede semua. Kangen ngurusin anak-anak seusia Reza, Pak Radit," tutur Pak Budi.

Lihat selengkapnya